31.5 C
Jakarta
Jumat, 13 Desember 2024

Virus Ekstremisme, Apakah Bisa Menciptakan Revolusi?

Wabah bisa membuat ‘revolusi’? Apa iya? Jangan bayangkan dulu seperti revolusi ala Che Guevara, atau revolusi Iran yang merontokkan sistem lama dan membangun sistem baru. Ini wilayah revolusi politik. Tapi revolusi bisa juga menyentuh aspek non politik semisal adanya ‘momentum’ bisa berupa ‘aset baru’ yang terbangun atau—pinjam istilah Karl Mannheim adanya ‘determinasi situasional’ yang meresahkan warga baru, yaitu perubahan.

Beberapa pagebluk yang tercatat oleh sejarah memiliki dampak revolusioner, ambil contoh skala epidemi yang menghantam Eropa abad pertengahan yaitu ‘maut hitam’ (black death). Wabah ini berdampak pada runtuhnya sistem feodalisme lama, yang mendorong Eropa Barat menuju komersialisasi dan menjadi lebih modern dengan mengembangkan sistem ekonomi berdasar uang kontan. Saat COVID-19 mendera, kontan ada kebijakan untuk physical distancing dan work from home (WFH).

Ramailah dunia medsos dengan berbagai opini dan wejangan. Lewat sosial media pula tersingkap solidaritas sosial untuk saling membantu. Seremoni, perayaan untuk meluapkan rasa iba, empati, bantuan bertalu-talu. Nah, dunia gadget telah melahirkan revolusi, masyarakat semakin terhubung secara dekat karenanya. World is flat, begitu tulis Thomas Friedman, dunia makin mendatar dan mengkerut yang tak terbayang sama sekali sebelum globalisasi yang membawa serta kecanggihan teknologi. Dan kini, begitu ada semburan COVID-19, revolusi semakin nyata.

Masyarakat seperti dicelikkan dengan situasi adanya ‘musuh bersama’ yang bisa memunculkan panik dan ketakutan, namun juga kesiapsiagaan, solidaritas dan kohesivitas sosial. Kegiatan yang selama ini dilakukan entah itu kemasyarakatan atau keagamaan, sekarang harus ditunda dan dihentikan. Bahkan untuk sebuah ritual wajib keagamaan seperti shalat Jumat perlu berbesar hati ditiadakan demi menghalau COVID-19. Baru kali ini, ada ‘revolusi’ sedemikian menyolok dan menyentuh pada wilayah yang selama ini dianggap ‘sakral’.

Serangan virus corona ini telah mencipta revolusi. Pandangan terhadap teror pun berubah serentak. Teror tak lagi berskala kecil, tapi mereka yang menerjuni dunia teror itu telah semakin canggih. Hingga kini pun disaat corona merajai teror, di Batang, Jawa Tengah terdapat penangkapan dan penembakan terhadap 3 terduga teroris. Penangkapan itu menyertakan beberapa bukti 4 dus berisi bahan peledak, paralon, samurai dan beberapa buku keagamaan. Entah apa yang ada di benak terduga teroris ini, apa mau melakukan aksinya di tengah suasana berkabung masyarakat melawan corona.

Sebagaimana pula gegeran munculnya ‘kekhalifahan ISIS’ yang dideklarasi 2014 yang telah mencipta revolusi. Dengan hipnosis yang dibalut keagamaan, banyak negara yang kehilangan warga negaranya datang ke Suriah demi berperang atau hasrat hidup dalam suasana kekhalifahan. Pasca terbongkarnya kekhalifahan abal-abal ini, banyak negara yang memikul beban oleh kedatangan eks Suriah ke negaranya masing-masing. Pada masyarakat masing-masing negara yang terlimpah eks-suriah menjadi cemas akan menularnya ‘virus ekstrimisme’ ke masyarakat.

Para eks Suriah ini bisa jadi adalah ‘carrier’ yang membawa kuman ekstrimisme dan lalu menyuntikkan pahamnya di tengah masyarakat. Ini persis dengan fakta satu daerah di negeri kita yang satu warganya terkena COVID-19, masyarakat menjadi was-was dan Pemda pun bertindak mengkarantina. Wajar ada ketakutan seperti ini ditengah situasi pandemi global COVID-19 maupun ISIS yang telah banyak bikin kalang kabut warga dunia.

Ya, revolusi yang terlahir dari kekhalifahan ISIS ini semakin membuat banyak muslim yang terpagut oleh mimpi tentang ‘Bumi Syam’. Revolusi juga telah merubah cara pandang tentang terorisme global yang ternyata tak hanya alasan ‘politik’ belaka, tetapi juga akibat pemahaman keagamaan. Agama telah menjadi ‘pemicu’ untuk melakukan tindakan diluar kewarasan. Agama yang mengajarkan kebaikan dan kasih sayang ‘di revolusi’ oleh para pemabuk teror untuk menjadi kekuatan yang menumpulkan nalar masyarakat demi mesianisme dan utopia.

Hadirnya ISIS yang hingga kini masih bergerak serta terus menularkan ideologi serta aksinya ke masyarakat dunia, telah juga ’merevolusi’ cara pandang terhadap terorisme. Virus ekstremisme ini sama saja dengan corona dalam penularannya. Bila tertular corona, seseorang tiba-tiba jatuh sakit dan terkapar. Tapi ternyata tidak semua dengan indikasi itu. Bisa saja terlihat sehat bugar, namun setelah diperiksa secara medis terbukti terpapar COVID-19. Begitupun dengan ‘virus ídiologi’ berwujud ekstrimisme ini. Secara fisik tidak menunjukkan terpapar, namun mendadak dia melakukan aksi ujaran kebencian dan bahkan tindakan brutal.

Di tengah teror corona, ada persoalan yang masih mengganjal, yaitu bagaimana dengan WNI eks Suriah yang kini sudah kembali di negeri kita yang sudah menyadari kekhilafannya. Ratusan WNI eks Suriah kini tersebar di Depok, Bogor, Bekasi, dan beberapa daerah lainnya.Mereka tidak perlu diperlakukan selayak ‘corona’ yang bisa menginfeksi pada orang lain. Karena ketika mereka pulang ke Bumi Pertiwi, mereka sudah di-‘lockdown’ di sebuah tempat khusus untuk tujuan deradikalisasi. Setelah dipandang ‘sembuh’ mereka dipulangkan ke rumahnya masing-masing dengan terus dalam pengawasan dan pemantauan.

Terhadap pasien COVID-19 masyarakat diminta untuk bersikap wajar, dengan tidak bersikap semena-mena, karena yang terpenting pencegahan individu masing-masing. Demikian halnya sikap terhadap para eks WNI eks Suriah yang sudah kembali hidup di Bumi Pertiwi ini. Tak syak lagi, disinilah perlunya ‘sikap revolusioner’ yang elok nan apik untuk tetap mampu membangun keharmonisan sosial ditengah amuk dua wabah impor tersebut.

TERBARU

Konten Terkait