Di era modern ini, ekstremisme telah mengambil berbagai bentuk yang beragam, tetapi yang paling mencolok adalah ekstremisme dalam hal pakaian. Fenomena ini telah memunculkan pertanyaan yang mendalam: Mengapa pakaian telah menjadi pusat perhatian dalam menilai kesalehan seseorang?
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi tren yang memandang pakaian, khususnya jilbab, sebagai ukuran utama dalam menilai tingkat kesalehan individu. Banyak yang merasa bahwa Surat Al-Ahzab ayat ke-59 memberikan panduan yang tegas tentang cara berpakaian, dan ini telah menjadi dasar bagi beberapa orang dalam mengekspresikan kesalehan mereka. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana dan mengapa pakaian telah menjadi simbol ekstremisme dalam masyarakat.
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dari sini dapat diketahui bahwa jilbab ada hubungannya dengan teologisasi umat Islam.
Kemudian ayat ini ditafsiri dengan sangat tekstual sehingga yang terjadi adalah penggunaan jilbab dengan “gaya Arab” di dalam imajinasi yang menggambarkan bahwa kesalehan perempuan akan semakin kuat ketika pakaian (baca: jilbab) semakin panjang. Ketika pemahaman ini menjadi pemahaman yang individual maka dampaknya tidak sebesar ketika sudah menjadi pemahaman kelompok yang mentradisi dan yang paling parah ketika sudah menganggap pemahaman orang lain adalah sebuah kesalahan dengan melakukan takfiri atau mengkafir-kafirkan sesamanya.
Dengan ini, jilbab sudah menjadi fenomena dan juga doktrin. Ada yang luput dari pembahasan yakni masalah kontekstualitas sebuah hukum. Dimana dalam hal ini ada banyak kesesuaian dan juga makna. Jilbab adalah sebuah kewajiban bagi setiap perempuan muslim, akan tetapi apakah jilbab yang dimaksudkan adalah sebagaimana imajinasi yang mengedepankan cara berpakaian?. Jika di-breakdown penggunaan jilbab sudah ada sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Jilbab sebagai penutup kepala bagi perempuan sudah digunakan dahulu pada pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Kemudian pada masa nabi Muhammad, Allah memerintahkan menggunakan jilbab sebagai pelindung dan juga tanda kehormatan bagi perempuan, di sisi lain, jilbab juga sebagai pembeda antara perempuan merdeka dan budak.
Dari sini dapat diketahui bahwa penggunaan jilbab memiliki rasionalisasi dan fungsinya. Bukan sekedar pakaian yang memiliki landasan hukum. Hal inilah yang kiranya luput dari pengetahuan para ekstremis, bahwa penggunaan jilbab bukan sekedar kain yang menjulur kebawah, dengan nuansa warna tertentu. sehingga menjadikannya sebuah tolak ukur kesalehan. Pemahaman-pemahaman tekstualis inilah yang mendasari berbagai macam asumsi mengenai -kesalehan bagi seseorang termasuk menghalalkan berbagai macam cara untuk sampai ke surga termasuk aksi-aksi terorisme yang berlindung di balik payung jihad.
Kendati demikian, jilbab sudah menjadi problem diskrus di berbagai bidang salah satunya adalah pada sektor ekonomi. Mengapa demikian? Hal ini berkaitan dengan trend yang disandarkan dengan dalil-dalil keagamaan sehingga menjadi laku di pasaran. Hal ini juga dikuatkan oleh doktrin agama, sehingga penyebannya semakin pesat.
Dengan demikian, bisa direnungkan jika penggunaan jilbab (menjulur panjang ke bawah) apakah benar-benar tanda kesalehan atau karena fashion yang melingkupi banyak sektor. Lantas bagaimana seharusnya menyikapi fenomena yang terjadi? Seharusnya kita bisa lebih kritis dalam memahami segala perubahan dan perkembangan dunia, sehingga tidak mudah terikut dan terombang-ambing ke dalam bingkai pemikiran dan doktrin khususnya keagamaan.
Fadwa El-Guindi mengutip Hansen bahwa hijab merupakan fenomena. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Guindi bahwa hijab merupakan fenomena sosial dengan histori yang dinamis dari masa-kemasa. Hal ini menegaskan bahwa persoalan jilbab bukan hanya pada ranah agama, tetapi menyangkut history dan perspektif bagi setiap penggunanya. Selaras dengan ini, kaum ektremis sudah menjadikan jilbab sebagai taraf kesalehan perempuan tanpa membreakdown akar dari jilbab itu sendiri.
Kendati jilbab merupakan sebuah pakaian yang disyariatkan, namun hal ini juga harus dibarengi dengan memahami esensi dan nilai dari jilbab itu sendiri sebagaimana yang sudah Allah maksudkan di dalam QS Al Ahzab ayat 59 tersebut. Dengan ini maka akan tercipta harmonisasi antar muslim bukan hanya perasaan paling benar dan berakhir pada tindakan-tindakan yang seharusnya tidak terjadi. wallahu alam bi shshawab.