Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah negeri di Indonesia memberlakukan aturan pemaksaan jilbab yang kemudian membuat sejumlah siswi non-Muslim harus mengikuti aturan tersebut. Sejumlah pihak kemudian berdalih bahwa aturan itu tidak memaksa. Namun, ketika ditelusuri faktanya di lapangan, murid yang menjadi korban merasa tertekan. Bahkan, menjadi korban perundungan jika tidak mengikuti regulasi yang ada.
Sebelas dua belas dengan apa yang terjadi di Indonesia, sejumlah sekolah di negeri Barat, seperti Prancis dan Amerika memberlakukan aturan yang hampir sama esensinya. Yakni, melarang penggunaan jilbab kepada siswi Muslim. Aturan tersebut, kemudian berakibat perundungan bagi murid tersebut jika ia tetap memakainya.
Meski dua kasus di atas bertentangan, yang satu memaksa murid untuk mengenakan jilbab, dan yang satu lagi memaksa murid melepas jilbab mereka. Keduanya secara umum melakukan diskriminasi terhadap anak sekolah terlepas dari apapun latar belakangnya. Secara tidak sadar, sekolah bukan hanya merenggut kemerdekaan murid perempuan untuk berpakaian sesuai dengan yang diyakini.
Akan tetapi, mereka juga mendorong timbulnya dampak negatif lain dari aturan ini: perundungan antar sesama murid. Bagaimana tidak, ketika sekolah memaksakan aturan tanpa terlebih dulu memahami kondisi personal dan situasi sosial yang dihadapi oleh para muridnya. Hal itu, memperlihatkan bahwa sekolah bertindak otoriter dan tidak menerapkan sikap toleran.
Padahal, tanpa aturan sekolah, potensi perundungan antar siswa sudah muncul. Namun, probabilitasnya akan semakin besar ketika institusi pendidikan lah yang memfasilitasinya. Contohnya saja di Amerika Serikat, temuan survei dari Institute for Social Policy and Understanding memperlihatkan bahwa 48% pelajar Muslim, terutama yang mengenakan jilbab mengalami perundungan karena agama yang mereka yakini. Bahkan 20% dari mereka mengatakan bahwa bullying terjadi setiap hari.
Di Indonesia kondisinya tidak jauh berbeda. Sepanjang 2015 hingga 2022, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sejumlah kasus pemaksaan jilbab yang berkaitan erat dengan perundungan peserta didik. Di antaranya terjadi di Riau, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagainya. Kasus sebaliknya, pelarangan penggunaan juga terjadi di sejumlah daerah Timur, seperti Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Menyikapi maraknya aturan pemaksaan maupun pelarangan jilbab, seharusnya sekolah mampu bersikap tegas dengan memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap hak yang melekat pada siswa mereka. Terlebih ketika sekolah justru mengabaikan dan malah turut melanggengkan aturan diskriminatif ini. Dampaknya akan semakin buruk.
Siswa yang menjadi korban akan menghadapi problem kesehatan mental, dan dalam jangka panjang. Pelaku perundungan bukan tidak mungkin akan melakukan tindakan yang sama bila sekolah dan pemerintah tidak bertindak tegas. Di sisi lain, yang menjadi ironi, pelaku perundungan kadang lembaga Pendidikan.
Regulasi Jilbab: Kebijakan Populis nan Diskriminatif
Aturan terkait jilbab sebagian besar dimunculkan oleh politisi untuk meraih simpati kelompok mayoritas. Salah satu faktor yang mendasari keluarnya regulasi tersebut adalah asumsi yang melihat bahwa pengaturan bagaimana perempuan berpakaian (dalam hal ini: pelajar). Diharapkan akan memudahkan mereka untuk memobilisasi pemilih.
Sayangnya, kebijakan populis ini selanjutnya justru semakin menormalisasi perundungan terhadap siswa, terutama dari kelompok minoritas. Jilbab sebagai simbol kesalehan dan moralitas kemudian menjadi sumber intoleransi tak berujung antara kelompok mayoritas dan minoritas. Selain kian melebarkan hubungan sosial antar siswa. Aturan terkait pemakaian jilbab juga memperlihatkan bagaimana kohesi sosial yang kian memudar di antara komunitas.
Polarisasi tajam yang dimainkan oleh politisi tampaknya semakin membuat diversitas populasi, baik di Indonesia maupun di negara barat malah tidak diakomodasi. Demi kepentingan politik jua, hak asasi manusia justru dipinggirkan. Ketika politisi hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok semata, mereka justru semakin mengabaikan dampak regulasi jilbab dan potensi perundungan terhadap siswi di sekolah.
Berdasarkan dari Rivara (2016), perundungan anak memiliki banyak efek samping. Tidak hanya dampak pendek, tapi juga jangka panjang. Korban perundungan akan terus menerus mengalami ketakutan dan kekhawatiran yang mengakibatkan mereka enggan untuk bersekolah.
Menurut studi yang sama, korban perundungan dalam jangka panjang akan kesulitan untuk menghadapi lingkungan baru. Korban terus diliputi rasa was-was, yang bahkan bila tidak terobati, bisa memicu individu tersebut untuk melakukan bunuh diri. Melihat risiko yang ditimbulkan oleh adanya regulasi terkait jilbab ini.
Seharusnya, pemerintah terutama di tingkat nasional dan daerah harus bekerja sama dengan sekolah untuk dapat menciptakan sistem aturan yang jauh lebih toleran dan memerdekakan siswa. Sebab, bila aturan diskriminatif sejenis terus dibiarkan, bukan tidak mungkin potensi pelajar di Indonesia justru meredup. Bahkan, masa depan Indonesia baik di bidang akademik maupun sosial terancam kian memburuk.