“Jika kamu mendidik satu laki-laki maka kamu mendidik satu orang, namun jika kamu mendidik satu perempuan maka kamu mendidik satu generasi”
Quote yang disampaikan bung Hatta tersebut mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Kita mendengar banyak sekali quote-quote senada tentang kepemimpinan perempuan yang berseliweran baik di buku-buku, podcast maupun internet. Memang banyak yang mengakui akan potensi yang dimiliki perempuan sebagai problem solving dalam memecahkan masalah apa pun.
Termasuk dalam pencegahan ekstrimisme kekerasan yang terjadi di Indonesia yang dalam perkembangannya membutuhkan pelibatan Perempuan. Namun pertanyaannya, dalam konteks Indonesia apakah romantisasi akan potensi perempuan tersebut memberikan dampak positif bagi perempuan itu sendiri atau justru menjadi boomerang bagi dirinya?
Dalam WGWC Talk seri 27 yang bertemakan “Benarkah Kepemimpinan Perempuan Lebih Efektif?” Wahyu Susilo, perwakilan dari Migran Care menyampaikan bahwa kita harus berhati-hati ketika berbicara tentang Perempuan sebagai pemimpin dalam agensi perdamaian. Menurutnya, dalam konteks ekstrimisme kekerasan kita tidak hanya berbicara soal upaya pencegahan kekerasan, tetapi juga tentang adanya pembajakan kepemimpinan perempuan oleh kelompok-kelompok ekstrimisme.
Seperti Jamaah Islamiyah (JI) misalnya, yang masih mendomestifikasi peran Perempuan di belakang layar. Sedangkan ISIS lebih membuka ruang bagi perempuan untuk melakukan aksi-aksi yang aktif dalam kekerasan. Pergeseran peran Perempuan dalam kelompok ekstrimis ini lantas mengejutkan banyak pihak yang mana dulunya Perempuan masuk dalam kategori korban, lalu bergeser menjadi pelaku aktif kekerasan.
Dalam konteks tersebut menurutnya, penting sekali untuk menganalisis bagaimana kepemimpinan perempuan yang genuine. Genuine artinya bagaimana kepemimpinan Perempuan tidak dibajak, dan juga sebaliknya bagaimana kepemimpinan Perempuan dalam pendekatan feminis yang memberikan manfaat tidak hanya untuk banyak orang, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
Karena apa? karena batasnya sangat tipis sekali. Ketika berbicara Perempuan sebagai agen perdamaian dalam landskap pendekatan mainstream tradisional, pada akhirnya Perempuan diberikan beban yang sangat berat. Narasi-narasi yang seperti “Perempuan kunci peradaban, Perempuan mendidik satu generasi” justru diromantisasi seakan-akan perempuanlah yang mempunyai tanggung jawab penuh pada baik tidaknya sebuah generasi. Lalu di mana peran laki-laki?
Karena itu kita harus berhati-hati agar tidak tergelincir dalam domestifikasi dan stereotype bahwa perempuan itu harus lembut, harus peduli, bertanggungjawab pada keluarga dan hal-hal serupa. Karena pada akhirnya stereotipe seperti itu hanya akan membebani Perempuan lebih berat. Kasarannya begini, sudah dibebankan urusan domestik, masih harus ngurusin isu perdamaian lagi.
Lebih lanjut Wahyu Susilo memberikan contoh bagaimana para perempuan migran diberikan beban yang sangat berat dalam hal parenting. Mereka seringkali disalahkan karena bekerja keluar negeri dan meninggalkan anaknya di tanah air. Ketika anaknya bermasalah dalam Pendidikan atau berperilaku buruk misalnya, yang dituding salah pasti ibunya. Bukan ayahnya atau yang lain. Ini hanya satu contoh dari berbagai contoh kasus yang terjadi di Masyarakat kita.
Oleh sebab itu, satu hal penting yang perlu diperhatikan ketika mendorong kepemimpinan perempuan dalam isu pencegahan ekstrimisme kekerasan adalah tidak tergelincir dalam stereotipe Perempuan adalah tiang bangsa. Stereotipe seperti ini justru memberikan beban yang sangat berat. Karena bagaimanapun Feminis leadersip adalah kepemimpinan dengan pendekatan yang inklusif, artinya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, termasuk laki-laki.
Maka sebelum mendorong kepemimpinan perempuan, kita juga harus memperhatikan bagaimana relasi rumah tangga yang terbagun dalam keluarga Perempuan tersebut. Apakah sudah menjalani relasi yang setara antara suami dan istri sehingga ada pembagian kerja yang adil, ataukah relasi timpang yang masih mendomestifikasi perempuan dalam perannya sebagai istri dan ibu.
Kita mengakui bahwa perempuan memang memiliki potensi dalam membangun ketahanan komunitas dari radikalisme dan kekerasan berbasis agama dan gender. Perempuan memiliki genuinitas sebagai agen perdamaian yang darinya mendorong berbagai perubahan dan transformasi baik di level individu maupun relasi secara struktural dan kultural. Namun penting juga untuk memperhatikan bagaimana support system yang membersamai Perempuan tersebut.
Adanya interseksi harus dilakukan ketika bicara soal agensi perempuan sebagai pendamai tetapi di sisi lain kita juga harus kritis terhadap domestifikasi dan stereotyping yang masih mainstream di Indonesa, karena jika tidak khawatirnya kita justru memberikan perempuan beban yang sangat berat. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi.