“Are you Muslim?” tanya kolega baru suami saya yang berasal dari Iran.
Ia ingin tahu lebih lanjut bagaimana perubahan budaya yang dihadapi ketika harus berpindah dari Indonesi ke Belanda. Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas populasinya beragama Muslim. Sedangkan, negeri kincir angin, mayoritas penduduknya kian skeptis terhadap ajaran agama.
“Yes, I am Muslim. How about you?” tanya balik suami saya padanya.
“I’m not sure, but I view religion as a set of rules that are imposed upon you, rather than a faith that you willingly embrace,” jawabnya enteng.
Bagi dirinya, Islam hanyalah paksaan. Jika tidak mengaku Islam di Iran, ia akan menghadapi hukuman. Jika tidak memakai jilbab, ia akan dihukum. Jadi, ia melihat ajaran Islam melalui pemaksaan hukum di Iran bukan sebagai panduan hidup yang membuat hati tenang. Namun, justru alat pemerintah untuk menghukum warganya. Ekstremisme berislam ala pemerintah ini lah yang kemudian semakin menguatkan citra bahwa Islam adalah agama kekerasan dan radikal. Padahal, esensi Islam sesungguhnya adalah cinta kasih dan memudahkan seluruh umatnya.
Jawaban kawan suami dari Iran tadi yang melihat agama sebagai sumber kekerasan dan hukuman, bukan hanya fenomena segelintir orang di Iran. Banyak individual Muslim lain berpendapat sama, sebab Islamisasi hukum membuat mereka melihat agama sebagai hal yang amat menakutkan. Disamping stigma Islam yang kian memburuk, pemaksaan salah satu tafsiran Islam termasuk dalam ranah berjilbab juga semakin memarjinalkan kaum perempuan.
Bagaimana tidak, dalam implementasinya, banyak polisi syariah di sana kerap mencari-cari kesalahan perempuan. Hal tersebut dilakukan agar kemudian dapat memberikan hukuman kepada mereka. Ketika perempuan menjadi tersangka, mereka biasanya akan dipermalukan, dan hal ini kian menempatkan perempuan sebagai sosok yang penuh dosa dan banyak kesalahan.
Padahal, seringkali kesalahan yang perempuan Iran lakukan amatlah remeh, seperti memakai sepatu boot (yang tidak ada kaitannya dengan jilbab), atau ketika jilbab yang mereka kenakan agak longgar sehingga menyebabkan rambut mereka terlihat. Kesalahan sepele inilah yang membuat kaum hawa di negeri Teheran terus terpojok dan selalu was-was ketika keluar rumah.
Tanpa pemaksaan agama pun, menjadi perempuan saja sudah teramat sulit. Jika harus berkiprah di ranah publik, risiko yang ditanggung amat beragam: dari risiko kejahatan hingga penculikan. Namun, saat ini harus ditambah lagi dengan bayang-bayang mendapatkan hukuman dari polisi syariah. Bisa dibayangkan bukan begitu banyak lapisan ketakutan yang harus membebani kaum perempuan di sana?
Selain kian memanjarakan perempuan dan menghambat mereka dalam mengoptimalkan kapasitas diri. Dampak negatif lain dari pemaksaan berjilbab adalah hilangnya esensi dakwah agama yang penuh kelembutan dan kedamaian. Hal ini yang kemudian membuat Islam lekat labelnya dengan agama kekerasan. Tak ayal, ‘dakwah Islam’ yang dipaksakan, apalagi dengan cara ekstrem, membuat banyak Muslim di Iran memilih menjadi ateis.
Islam kehilangan citranya sebagai agama penuh kasih sayang. Banyak umat Muslim di sana merasa telah kehilangan inti beragama itu sendiri. Mereka tidak lagi melihat agama sebagai sumber kedamaian hati, justru sebagai sumber ketakutan yang akhirnya malah semakin menambah beban hidup. Selain banyak individu yang akhirnya melepaskan diri dengan identitas beragama, pemaksaan jilbab membuat semakin tingginya kasus intoleransi di Iran.
Sesama warga dengan mudahnya melakukan perundungan secara lisan dan fisik kepada orang lain hanya karena merasa tafsiran agama yang ia pegang diamini oleh pemerintah melalui peraturan wajib berjilbab. Dari kesaksian sejumlah perempuan di Iran, ketika aturan pemaksaan jilbab dilakukan, kasus bullying dan catcalling tidak lantas menurun drastis. Justru, kian banyak laki-laki mengolok-ngolok perempuan.
Terlebih, laki-laki di sana merasa bahwa dengan adanya pengetatan aturan jilbab, mereka menempati posisi lebih tinggi daripada perempuan karena mereka bukanlah sumber fitnah. Hal ini berbeda dengan perempuan yang harus dibungkus. Oleh karena itu, seringkali kaum adam di sana merasa lumrah untuk mengejek perempuan karena mereka menganggap perempuan adalah sosok penggoda.
Situasi tersebut lantas membuat kasus intoleransi kian meningkat di Iran. Targetnya bahkan perempuan lintas usia. Tak peduli ia anak-anak, muda, atau tua, mayoritas perempuan Iran terus menerus digempur fitnah yang disebabkan legalisasi tafsiran Islam sepihak oleh pemerintah di sana. Peminggiran perempuan yang terjadi di negara dengan ibukota Teheran tersebut kian membuat perempuan yang telah jatuh, kemudian tertimpa: tertimpa beban yang tak henti-hentinya menerpa.