Dewasa ini radikalisme menjadi isu yang hangat untuk di bahas. Radikalisme berakibat pada tindakan-tindakan yang merugikan banyak pihak seperti ekstremisme sampai terorisme. Kemudian, kaum radikalis menyasar seluruh kalangan tak terkecuali anak muda. Anak muda menjadi sasaran empuk bagi kaum radikalis. Hal ini nampak dari para terorisme dan sindikatnya yang tak lain adalah para anak muda.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan penduduk yang agamis, hal ini ditandai dengan sila pertama Pancasila yakni Yetuhanan Yang Maha Esa, artinya penduduk Indonesia dipastikan seseorang yang memluk agama. Kemudian, Indonesia merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak di dunia yakni 86,7% dari penduduk Indonesia. Kendati demikian, Tidak semua orang Islam yang ada di Indonesia memiliki sikap yang inklusif dan progresif dalam menjalankan kehidupan beragama. Sehingga melahirkan pemikiran radikal yang menyebabkan aksi-aksi ekstrem sampai terorisme.
Ekstremisme tidak mengenal backgoround dari seseorang, kendati ia adalah seorang akademisi yang notabennya belajar banyak hal. Pada mulanya, kita bisa menengok kebelakang sekitar abad 20 dan 21 awal yakni pada masa orde baru. Pada masa reformasi yang memberikan euforia tentang kebebasan. Kendati banyak pula yang menyatakan bahwa kebebasan yang justru kebablasan. Sehingga banyak dari kalangan-kalangan tertentu yang memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu salah satunya adalah pada kelompok-kelompok Islamis. Akibatnya, banyak gerakan radikalis melakukan aksi ekstremisme sampai terorisme berbasis agama.
Mulai dari sini, maka lahirlah banyak ekstremis-ekstremis dengan motif dan tujuan tertentu. Mengapa demikian? Sejatinya, Islam selalu pada ajaran yang damai kemudian dengan hukum-hukum yang tentunya memudahkan pemeluk Islam itu sendiri. Lantas di mana letak kekerasannya? Bukankah kalau kita memahami agama dengan baik maka yang kita rasakan hanya sebuah ketenangan dan kebahagiaan?. Lalu apa saja motifnya?
Berdasarkan pengamatan penulis, di dalam jaringan-jaringan radikalis banyak menawarkan kebahagiaan yang bersifat utopis. Penulis akan memapaparkan beberapa contoh-contohnya. (1) Anak muda yang seharusnya memiliki semangat muda yang tinggi memilih untuk merakit bom dengan motivasi surga dan berlindung di bawah payung jihad. Hal ini yang kemudian meyebabkan banyak hal seperti islamophobia dan lain sebagainya. (2) anak muda cenderung memilih menikah diusia muda dengan metode ta’aruf. Menikah digambarkan sebagai satu-satunya jalan menuju Tuhan dengan alasan pahala dan banyaknya ibadah yang bisa dilakukan pasca menikah. Hal ini bukan sebuah kesalahan yang mutlak terjadi, tetapi jika melihat dampaknya baik dari sisi psikis, ekonomi dan biologis tentunya belum disarankan. Kadang mereka juga mennganggap jika menikah adalah satu-satunya cara menghindari dari zinah.
Kebahagiaan yang cenderung utopis inilah yang mendasari banyaknya anak muda beralih secara ideologi keagamaan. Terkadang, esensi dari Islam yang berisi ajaran kedamaian, keindahan, humanisme terkikis oleh hasrat beragama yang secara esensial telah hilang. Utopia yang terjadi di kalangan anak muda ini akhirnya mencerabut semangat kritis anak muda.
Anak muda yang sudah masuk pada lingkar ekstremisnya hanya berkutat pada pemahaman-pemahaman statis yang cenderung tekstual. Pemahaman yang konservatif inilah yang pada akhirnya menggiring anak muda pada lingkar-lingar ekstremis yang cenderung utopis mengenai konsep surga dan neraka. Di sisi lain, mereka juga cenderung eksklusif dan tidak menerima moderasi dan sangat intoleran.
Tahun 2016, Peneliti Lembaga Ilmu (LIPI) mengonfirmasi bahwa gerakan radikalis ini sudah sampai di kampus, merekrut dan menjerat mahasiswa ke dalam lingkar radikalisme. Badan Intelijen Negara (BIN) menyebutkan sekitar 39% mahasiswa Indonesia telah terpapar radikalisme. Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut sekira 39 persen mahasiswa di Tanah Air telah terpapar paham radikal. Bahkan, paham radikal juga dinilai tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi yang tak hanya menyasar kalangan mahasiswa.
Kemudian, Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan mengatakan bahwa terdapat peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan. Hal tersebut, sejalan dengan hasil survei Mata Air Foundation dan Alvara Research. Bahkan, dalam hasil survei BIN pada 2017 menyebutkan 39% mahasiswa dari berbagai PT di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad, untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.
Di masa lalu, Sukarno pernah mengatakan bahwa “beri aku 10 anak muda maka akan ku ubah dunia”, hal ini tentu bukan tanpa alasan. Anak muda bisa memberi pengaruh terhadap banyak hal. selain itu, anak muda juga memiliki semangat yang tentunya lebih besar dari pada orang tua. Hal ini kemudian yang menyebabkan radikalisme di kalangan anak muda juga marak terjadi karena spirit beragama juga tinggi, kendati dengan cara yang kurang tepat. (wallahua’lam bi shshsawab)