Pancasila dan “Syariat Islam”
Negara Pancasila adalah “religious nation state”, yakni negara kebangsaan yang bukan negara agama (yang berpijak pada salah satu agama tertentu) dan juga bukan negara sekuler (negara yang mengabaikan kepentingan agama). Negara Pancasila justru mengakui dan mengomodir eksistensi agama-agama yang dianut oleh rakyatnya selama sesuai dengan norma keadilan dan keberadaban. Meski dapat dipahami demikian, namun sejak Presiden Soekarno dan penerusnya Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai bahan tanding dalam gerakan islam politik yang menafsirkan “Syariat Islam” identik dengan negara Islam.
Sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi politik Hizbut Tahrir Indonesia. Salah satu strategi pemikirannya, berupa pelunakan ideologi, yaitu pandangan HTI atas Pancasila. Pada awalnya HTI ini bersifat keras dengan menolak Pancasila sebagai falsafah kufur. Namun akhirnya, HTI melakukan penerimaan Pancasila sebagai set of philosophy yang baik. Sehingga pada dasarnya HTI tetap menerima Pancasila apa adanya.
Meskipun, garis ideologinya tetap dijaga dengan tidak memahami sila keempat, sebagai sila demokrasi, melainkan hanya sila kerakyatan. Saat ini, HTI tidak lagi menyebut Pancasila sebagai falsafah kufur. Namun, tetap menolak kemutlakan Pancasila sebagai dasar negara. Konsekuensi logis dari garis politik HTI adalah penegakan syariah dalam kerangka pendirian kembali Khilafah Islamiyah di Indonesia serta menjadikan Islam sebagai fikrah gerakan, dan khilafah sebagai khittah politik.
Relasi Negara dan Agama dalam Peraturan Daerah
Pada tahun 1999, Presiden B.J. Habiebie yang menggantikan Soeharto, dituntut mengakhiri pertikaian senjata selama dua dekade di Aceh. Presiden Habibie menandatangani Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk menjalankan apa yang ditafsirkan sebagai Syariat Islam. Dengan adanya UU tersebut, pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diizinkannya sebuah provinsi untuk menjalankan aturan daerah sesuai Syariat Islam.
Meski provinsi dan daerah lain tak punya kesamaan hukum untuk memberlakukan aturan yang Syariat, namun berbagai aturan daerah dibuat setara dengan apa yang dilakukan di Aceh, seiring dengan menguatnya kalangan konservatif Islam. Permasalahan yang timbul pada tataran daerah di era otonomi daerah ini memiliki alasan atas dasar kebudayaan dan jati diri atau corak daerah. Hal tersebut, malah seolah menjadi tameng legitimasi bagi daerah dalam menyusun materi muatan peraturan keagamaan.
Padahal menurut perspektif yuridis normatif, urusan agama adalah urusan pemerintah pusat sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, perspektif ideologi Pancasila, norma agama tertentu yang termuat dalam suatu peraturan daerah dianggap tidak relevan dan bersifat diskriminatif jika hanya mengatur satu agama tertentu saja. Idealnya, peraturan daerah seharusnya mengikat semua warga masyarakat dalam daerah tersebut.
Contohnya terjadi pada Tahun 2001, di mana tiga kabupaten di Jawa Barat dan Sumatera Barat mulai mewajibkan jilbab di sekolah-sekolah. Sejumlah kabupaten lain di Pulai Jawa, Sumatera dan Sulawesi, juga membuat peraturan serupa yang mewajibkan para guru dan siswi berjilbab. Salah satu peraturan daerah tersebut ada di sebuah sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat yang merujuk pada intruksi wali kota Padang nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 tentang aturan penggunaan jilbab, bahkan aturan tersebut juga wajib bagi siswi nonmuslim.
Menanggapi persoalan ini, sejak 2021 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Aturan tersebut mengizinkan setiap siswi atau guru perempuan untuk memilih apa yang akan dikenakan di sekolah, dengan atau tanpa ‘atribut keagamaan’. Akan tetapi, aturan tersebut tidak banyak digunakan. Saat ini, banyak sekolah malah mengeluarkan aturan agar siswa perempuan menggunakan jilbab.
Pro dan Kontra SKB Tiga Menteri
Dengan diterbitkannya SKB Tiga Menteri, terdapat pandangan yang pro dan kontra dari masyarakat. Dari pandangan yang kontra, misalnya dengan adanya SKB Tiga Menteri ini adalah upaya sekularisasi atau upaya ajaran yang tidak berlandaskan agama dalam pendidikan. Para pendukung wajib jilbab juga mengajukan berbagai pembenaran untuk berbagai aturan. Aturan wajib jilbab diperlukan untuk mengatasi masalah seperti kemiskinan, kehamilan remaja, dan pornografi di internet.
Padahal SKB Tiga menteri ini adalah kebijakan yang tepat untuk melindungi hak asasi siswa, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mengekspresikan keyakinannya dalam beragama. Serta mendukung dan menjamin kesetaraan dan keadilan gender. Perempuan dan anak perempuan yang berprofesi sebagai pendidik dan tenaga kependidikan merupakan kelompok yang paling rentan mengalami pemaksaan memakai jilbab. Baik oleh pihak sekolah dan pemerintah daerah yang bersikap intoleran dan upaya dalam mengontrol tubuh serta hak berekspresi.
Sehingga dengan kehadiran SKB Tiga Menteri ini sangatlah dinantikan oleh kelompok minoritas dan masyarakat yang mendukung toleransi beragama. Ironisnya, selama ini tidak mampu mempengaruhi pemerintah daerah dan satuan Pendidikan. Bahkan, tidak sedikit keduanya bersifat otoriter terhadap tafsir beragama dan memaksakan tafsirnya kepada semua pihak.