32.7 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Praktik Pemaksaan Jilbab Terus Terjadi dalam Pendidikan, Lama Kelamaan Kita Bisa Kehilangan Indonesia!

Terdapat tiga dosa besar dalam dunia pendidikan yang hingga saat ini masih menjadi masalah yang sulit diselesaikan, yaitu kekerasan seksual, bullying, dan intoleransi. Sebagai contohnya kasus intoleransi, baru-baru ini publik dihebohkan dengan kabar hukuman penggundulan 14 siswi SMP di Lamongan karena tidak menggunakan dalaman kerudung atau ciput.

Aksi tersebut dilakukan oleh seorang guru berinisial EN saat mengajar siswa kelas IX pada hari Rabu, tanggal 23 Agustus 2023. Menurut pernyataan kepala sekolah, Harto, hukuman tersebut adalah inisiatif dari EN, yang merupakan guru di kelas tersebut. Demikian juga, terkait dengan penggunaan ciput, aturannya tidak dijelaskan secara tegas di SMPN 1 Sukodadi.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang yang aman bagi semua individu dengan beragam ekspresi keagamaan, seringkali berubah menjadi arena diskriminasi yang terstruktur. Kasus seperti ini bukanlah satu-satunya contoh praktik intoleransi di dunia pendidikan, banyak kasus serupa yang telah terjadi.

Inilah Faktor Praktik Intoleransi di Dunia Pendidikan
Tentunya fenomena ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Dalam sebuah acara WGWC Talk yang ke-28, Anis Farikhatin, seorang guru di SMA PIRI 1 Yogyakarta, menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang berperan dalam praktik intoleransi di dunia pendidikan. Pertama, cara pandang keberagamaan yang masih fiqh oriented, di mana pembelajaran lebih berorietasi pada norma-norma benar-salah, pahala-dosa.

Kedua, cara pandang yang bias gender, di mana masih melihat perempuan sebagai sumber fitnah dan sebatas makhluk biologis. Sehingga, dalam konteks ini mengangap perempuan harus dirapatkan dan dibatasi geraknya, salah satunya dalam berpakaian. Ketiga, masyarakat di lembaga pendidikan kebanyakan tidak memahami bagaimana cara beragama di ruang privat dan di ruang publik. Sering kali semangat yang dilontarkan oleh para guru agama adalah semangat dakwah, tetapi di sisi lain ia lupa bahwa sekolah adalah ruang publik.

Keempat, banyak guru yang sering kali terlalu fokus pada tugas-tugas yang bersifat instrumental, sehingga mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap aspek-aspek substansial dalam pendidikan. Misalnya, beberapa guru lebih cenderung memposisikan dirinya sebagai pengajar semata daripada sebagai pendidik yang juga berperan dalam melindungi hak-hak siswa.

Selain itu, fakta dalam penyelesaian kasus pemaksaan jilbab yang selalu berujung pada perdamaian, turut memperparah aksi intoleransi di sekolah. Seolah-olah pihak sekolah telah menyelesaikan kasus tersebut, namun seringkali orang tua korban terpaksa berdamai dengan pelaku, karena pelaku biasanya memiliki posisi figur otoritas.

Kata ‘damai’ mungkin terdengar positif, namun sebenarnya hal ini tidak memberikan keadilan kepada korban, terutama anak-anak. Kesepakatan damai semacam ini dapat menyebabkan trauma bagi anak-anak karena mereka melihat pelaku tetap berada di sekolah tanpa menghadapi konsekuensi yang layak.

Ini Bukan ‘Hanya’ Sekedar Jilbab
Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog yang menjadi pendamping korban dalam acara WGWC Talk ke-28, menyoroti bahwa kasus pemaksaan jilbab bukan ‘hanya’ masalah jilbab semata, tapi ‘bom waktu’ generasi trauma. Mengapa demikian? Karena, harga diri korban pemaksaan jilbab ini dihancurkan dari segala arah! Mulai dari yang bersifat lebih halus seperti himbauan, nasehat, masukan, hingga tindakan yang ekstrem seperti penggundulan rambut dan pengurangan nilai.

Parahnya lagi, tindakan ini tidak hanya datang dari guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), tetapi juga dari guru mata pelajaran lainnya. Selain itu, seringkali korban menghadapi bentuk bullying verbal, misalnya dipermalukan oleh guru di ruang kelas atau oleh kepala sekolah saat upacara. Korban-korban ini sering merasa sendirian, tanpa ada yang membela mereka.

Bayangkan itu dialami oleh anak-anak kita sejak ia SMP, di mana di masa itu merukan fase pencarian identitas. Ifa juga menjelaskan bahwa korban pemaksaan jilbab ini sering kali mengalami konfilk dengan tubuhnya, karena merasa tidak memenuhi standar moral sebagai perempuan yang baik. Dengan kata lain, jilbab sering kali dianggap sebagai simbol identitas moral yang diberikan secara tidak langsung.

Lama Kelamaan, Kita Bisa Kehilangan Indonesia
Kita tidak anti ‘jilbab’, kita anti pemaksaan! Seolah-seolah ketika ngobrolin kasus pemaksaan jilbab ini, dianggap anti jilbab, padahal tidak demikian! Justru yang disoroti adalah pemaksaanya, yaitu ketika perempuan kehilangan kuasa atas tubuhnya.

Jika praktik pemaksaan jilbab ini terus hadir di dunia pendidikan, maka peradaban bangsa ini akan rusak, mengapa? Karena praktik pemaksaan jilbab tidak secara langsung merusak mental anak-anak perempuan sejak usia dini.

Sadar atau tidak, secara perlahan kita mungkin akan kehilangan identitas budaya kita sendiri. Nasib perempuan Indonesia bisa berakhir tragis, mirip dengan apa yang terjadi di Iran, Irak, dan Afghanistan, jika kita terus memilih untuk tidak bersuara. Jangan sampai kita kehilangan Indonesia!

TERBARU

Konten Terkait