Adanya pergeseran trend dalam aksi terorisme di mana perempuan yang dulunya hanya berperan di belakang layar bertransformasi menjadi pelaku dan turut andil dalam penyerangan menjadi suatu hal yang harus diperhatikan. Karenanya, perlindungan Perempuan dan anak dari perekrutan dan propaganda kelompok ekstrim menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Dalam hal ini, gender mainstreaming dan juga pendekatan feminis menjadi urgen untuk digunakan.
Dalam konteks tersebut, salah satu upaya pemerintah adalah dengan disahkannya Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 Tentang Rencana Aksi Nasional Pelindungan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Kehadiran RAN PE yang menjamin proses pelaksanaannya salah satunya menerapkan prinsip-prinsip pengarusutamaan gender (PUG) bagaikan oase di tengah kekeringan dukungan secara legislasi yang memberikan pengakuan kepada peran perempuan dalam Pencegahan Ekstrimisme di mana hampir semua kebijakan sebelumnya belum menyebutnya.
Optimalisasi Agensi Perempuan dan Kolaborasi
Kebijakan ini jugalah yang meginisiasi lahirnya agensi-agensi Perempuan di tingkat daerah yang saling bahu membahu mendorong pemda untuk mengadopsi RAN PE dalam bentuk Pergub atau peraturan lainnya yang selevel dngannya, agar RAN PE di tingkat nasional bisa dibumikan di tingkat daerah.
Seperti yang dilakukan oleh Fatayat NU di Jawa Barat yang sejak Juli 2020 bekerjasama dengan INFID telah menginisiasi forum multi stakeholder di Jawa Barat. Melibatkan berbagai organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan organisasi Keagamaan, forum ini bertujuan untuk meningkatkan system reintegrasi dan pendampingan bagi Perempuan dan anak yang terpapar paham radikal.
Di tahun 2021, Forum stakeholder tersebut bekerja sama dengan Institut Perempuan dan WGWC terlibat penuh dalam advokasi untuk menerbitkan Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAD PE) di Provinsi Jawa Barat. Forum stakeholder yang dimotori oleh berbagai agensi Perempuan ini terbukti mampu mendorong disahkannya Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2022 tentang RAD PE 2022-2024.
Wakil Ketua Pengurus wilayah Fatayat NU, Neng Hannah dalam agenda WGWC Talk seri 27 dengan tajuk “Benarkah Kepemimpinan Perempuan Lebih Efektif?” menyatakan bahwa kepemimpinan Perempuan yang berkolaborasi dengan berbagai pihak memainkan peran yang sangat penting dalam mengawal implementasi RAD PE. Menurutnya, Perempuan mempunyai peran yang cukup strategis sehingga muatan gender mainstreaming dalam RAD PE di Provinsi Jawa Barat sangat kuat.
Lebih lanjut Neng Hannah mengatakan bahwa dirinya optimis forum stakeholder yang dimotori oleh Perempuan ini akan membawa dampak yang positif. Perempuan mempunyai ciri khas yang lebih soft dalam melakukan pendekatan dan komunikasi. Neng Hannah menceritakan bagaimana perempuan akhirnya mampu membangun dialog dengan pemerintah, padahal dulunya audiensi sangat sulit untuk dilakukan.
”Ada ketakutan di Masyarakat ketika ingin mendekati pemerintah karena adanya prasangka-prasangka, begitu pun juga pemerintah yang memiliki prasangka terhadap masyarakat.Namun agensi Perempuan terbukti mampu menjembatani dengan dialog dan komunikasi yang informal khas Perempuan sehingga prasangka-prasangka tersebut bida dilebur dan akhirnya terjalin kerja sama dan kolaborasi,” ujarnya.
Agensi Perempuan dan Feminis Leadership
Sylvia Yazid, akademisi dari UNPAR Bandung yang berperan sebagai penanggap dalam agenda WGWC Talk seri 27 tersebut memaparkan bahwa dalam sudut pandang feminis, intervensi apa pun baik dalam permasalahan konflik maupun pencegahan ekstrimisme kekerasan, tidak boleh gender netral. Artinya, tidak boleh satu resep untuk semua. Karenanya, feminis diidentikkan dengan inklusi, yaitu memastikan semua pihak untuk terlibat.
Pendekatan inklusi seperti ini seringkali diidentikkan dengan Perempuan. Hal ini dikarenakan Perempuan ketika memikirkan sesuatu,tidak hanya memikirkan dampaknya untuk dirinya sendiri. Secara tradisional dan nilai, Perempuan pasti selalu memikirkan juga bagaimana dampaknya untuk suaminya, anaknya, orangtuanya, mertuanya dan orang-orang di sekelilingnya.
Pencegahan ekstrimisme kekerasan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Banyak sekali tantangan-tantangan di lapangan yang menghambat kerja-kerja tersebut. Salah satunya terkait bagaimana pengkoordinasian semua unsur masyarakat sehingga mereka bisa duduk bareng dan berkoordinasi bersama. Tantangan-tantangan tersebut menurut Sylvia Yazid justru membutuhkan feminis leadership atau kepemimpinan yang feminis. Seperti apakah itu?
Yang pertama adalah kepemimpinan tersebut harus mempunyai Courage atau keberanian, maksudnya adalah berani muncul dengan ide-ide yang out of the box demi merih tujuan. Seperti yang dilakukan para agensi Perempuan yang bahkan mendatangi satu-satu para stakeholder agar audiensi dapat terlaksana. Hal seperti ini mungkin adalah sesuatu yang tidak akan terpikirkan oleh mereka yang ada di birokrasi.
Kedua adalah kepemimpinan tersebut harus bicara tentang kebutuhan. Feminis tidak akan bicara tentang konsep dan hal-hal yang sifatnya teori, tetapi langsung pada kebutuhan apa yang urgen untuk dipenuhi. Hal ini terjadi karena pengalamannya yang bersinggungan langsung dengan akar rumput.
Selain itu, kepemimpinan yang feminis juga selalu bicara tentang Fairness atau keadilan dan juga Couriousity atau rasa keingintahuan yang tinggi. Karena itu kepemimpinan yang feminis akan sangat suka bereksperimen. Ketika ada kondisi di mna suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan yang konvensional, maka dia akan dengan sangat fleksibel mencari cara dengan berbagai pendekatan dan ide-ide baru.
Yang terakhir adalah Confident atau kepercayaan diri. Silvia Yazid menuturkan bahwa kepercayaan diri tidak berarti menjadi laki-laki. Tidak berarti juga harus menunjukkan sisi maskulinitas yang dominan. Artinya, pemimpin yang feminis tidak harus menjadi kuat dalam artian otoriter dan menggunakan powernya, tetapi lebih menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih halus dan inklusif.
Sebelum adanya pendekatan multi stakeholder, upaya pencegahan ekstrimisme kekerasan masih terpisah-pisah, terkungkung dalam satu kelompok tertentu dan menggunakan pendekatan ad-hoc, ada kejadian baru direspon. Jika pendekatan ini dipertahankan maka akan sangat tidak efektif dan tidak akan membawa kemana-mana. Karenanya, pendekatan multi stakeholder yang dimotori oleh agensi Perempuan memberikan peran penting dalam menyambung begian yang selama ini terpisah. Untuk itu, potensi feminis leadership dalam diri setiap agen Perempuan perlu untuk selalu diasah.