“Masyarakat Indonesia itu lebih toleran kepada agama lain, namun tidak begitu toleran kepada sesama agamanya,” ucap seorang teman ketika mengisi materi dalam suatu forum. Kalimat itu, membuat saya berpikir lebih keras fenomena yang terjadi pada hubungan pada umat beragama yang sama. Terutama yang terjadi di lembaga pendidikan. Berapa banyak aksi/demonstrasi yang dilakukan atas nama pencemaran agama yang dilakukan oleh pemeluk agama yang sama?
Maka tidak heran, ketika terjadi perundungan kepada siswi akibat tidak berjilbab dan aksi pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah, menjadi suatu fenomena yang biasa dalam ekspresi keagamaan kita. Padahal fenomena ini menjadi salah satu dosa besar lembaga pendidikan/sekolah negeri. Dari fenomena tersebut, terlihat tidak bisa merangkul keanekaragaman pemahaman agama dalam menunjukkan ekspresi keagamaan.
Pemakaian jilbab, tidak hanya dipahami sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh agama. Akan tetapi juga berkenaan dengan kebebasan bagi seseorang, dalam memilih dalam kehidupannya. Namun, tidak semua orang mampu menghargai pilihan kemanusiaan atas pakaiannya, sehingga berdampak terhadap pemaksaan dan perundungan yang menciderai hak asasi manusia. Pentingnya pendidikan inklusif, memberikan kesadaran kepada semua elemen lembaga pendidikan, untuk saling menghargai kebebasan berkeyakinan.
Inklusifitas sebagai Budaya Lembaga Pendidikan
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, salah satu aksentuasi pendidikan adalah kekuatan spiritual keagamaan dan akhlak mulia. Atas dasar ini, pendidikan agama dan pendidikan keagmaan memiliki posisi strategis dalam rangka membangun karakter bangsa. Pendidikan agama sudah seharusnya menjadi media efektif dalam mengembangkan pemikiran inklusif dan menjadi filter terhadap paham keagamaan dan fanatisme sempit yang berakibat pada radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Fenomena pemaksaan terhadap ekspresi keagamaan, dalam hal ini pemaksaan penggunaan jilbab, menunjukkan bahwa pendidikan agama belum sepenuhnya membantu membangun penerimaan terhadap paham keagamaan yang saling menghargai antar sesama. Kejadian yang terjadii di sekolah menggambarkan realitas bermasyarakat di Indonesia secara luas. Perundungan yang dilakukan oleh para siswi dan guru kepada siswi yang tidak menggunakan jilbab, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan belum mampu menerapkan inklusifitas sebagai budaya lingkungan pendidikan.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan strategi pendidikan agama yang inklusif untuk membantu memproduksi pemahaman dan sikap inklusif. Sekaligus, solider terhadap kehidupan yang melampaui sekat-sekat agama dan etnis. Sikap inklusif dalam beragama, bisa dipahami sebagai sikap terbuka yang memungkinkan seseorang mampu berdampingan dengan pemeluk agama lain.
Ini sangat penting supaya, aksi perundungan, pemaksaan tidak dilakukan hanya karena perbedaan pilihan ekspresi keagamaan. Dalam konsep pendidikan inklusif, setidaknya perlu melakukan 3 pendekatan, di antaranya: pertama, religiosity; keberagamaan manusia yang bersifat mutlak. Setiap orang ingin mengenal dan mendambakan tanpa syarat adanya ide dasar ketuhanan, kebaikan kesejahteraan, kesehatan, kedamaian, keadilan, kemerdekeaan kejujuran, keindahan, dll. Kedua, religions, keanekaragaman agama. Kemutlakan religiusitas ketika dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat bahasa manusia, serta diinstitusionalisasikan, akan menciptakan pemahaman yang berbeda pada masing-masing orang. Perbedaan pemahaman ini dilatarbelakangi oleh perbedaan bahasa, budaya, kemampuan intelektual, dll. Ketiga, on going proces of being religious.
Proses menjadi ke arah yang lebih baik-sempurna-lengkap yang terus menerus berlangsung selama hayat dikandung badan. Sekolah negeri, perlu menerapkan pendidikan inklusif untuk menerapkan kesadaran kepada seluruh elemen Pendidikan. Fenomena keberagamaan perlu didialogkan ataupun dihargai bersama tanpa menjudge, mana yang paling islami dan yang tidak. Sejauh ini, para siswi yang tidak menggunakan jilbab seringkali dianggap tidak mencerminkan kemuslimahannya, serta dianggap tidak bermoral.
Guru seringkali memberikan penilaian yang tidak baik kepada siswi tidak berjilbab lantaran dianggap nakal dan tidak beretika dibandingkan dengan teman-temannya lainnya yang berjilbab. Respon ini juga memicu perilaku teman sebayanya untuk sikap membully bahkan mendiskriminasi teman yang tidak berjilbab. Budaya ini semestinya harus dihanguskan dalam sekolah.
Lembaga pendidikan harus menjadi ruang dalam mengekspresikan keberagamaan sesuai dengan pemahamannya. Bukan, justru memaksa para siswi untuk tunduk pada satu ajaran agama. Fakta tersebut membuat gambaran agama sangat tidak ramah kepada pemeluknya karena sikap memaksa dan melakukan perundungan.