Gerakan Jilbabisasi baru-baru ini kembali menjadi perbincangan serius, setelah berbagai kasus menimpa sejumlah perempuan dan anak perempuan di beberapa sekolah di Indonesia. Gerakan ini dipandang memiliki tujuan yang baik bagi peserta didik. Namun, sesuatu yang terlaksana dengan proses yang begitu singkat dan disertai pemaksaan. Tentu, akan menimbulkan polemik dan persoalan terlebih bagi kaum minoritas.
Jilbabisasi sendiri setidaknya memiliki makna sebagai sebuah aturan yang mengikat, memaksa dan bisa mengandung sanksi atas pemakaian jilbab. Jilbab seolah dipandang sebagai simbol kesalehan perempuan dan akhlak yang tinggi. Padahal semakin banyak daerah di Indonesia yang menekankan wajib jilbab, jelas tidak bisa disamakan dengan meningkatnya kesalehan dan moralitas.
Dewan Perwakilan Rakyat pada Tahun 1999 dan 2004 telah mengesahkan undang-undang otonomi daerah yang memberi kewenangan pada pemerintah provinsi serta kabupaten/kota untuk mengatur sektor pendidikan dan pelayanan publik. Bersama dengan munculnya otonomi daerah ini, jilbab di beberapa daerah diatur sebagai regulasi dari pada sebagai identitas kultural atau pilihan keyakinan. Dengan adanya aturan atau regulasi wajib jilbab, maka jilbab telah melepaskan ‘eksistensi iman’ menjadi aturan yang memaksa.
Padahal tidak seharusnya pilihan keimanan menjadi hal yang diwajibkan, melainkan sebagai kesadaran pribadi. Gerakan jilbabisasi ini juga dianggap sebagai solusi dari adanya kemarakan berbagai kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Padahal persoalan ini tidak serta merta akan tuntas bila perempuan sudah mengenakan jilbab atau pakaian Islami lainnya.
Sejatinya, adanya berbagai kasus pelecehan adalah murni perlakuan otak pelaku. Tidak seharusnya, hanya perempuan yang dibebani untuk menuntaskan kasus pelecahan dan lainnya. Sebab laki-laki dan perempuan memiliki tugas bersama untuk mencegah terjadinya kasus-kasus tersebut, dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Peran Identitas Agama
Di Indonesia, sebelum dikenal adanya istilah jilbab, masyarakat menyebutnya dengan istilah ‘kerudung’ yaitu sesuatu yang digunakan sebagai penutup kepala oleh kaum perempuan. Proses jilbab dari waktu ke waktu pun mengalami perubahan. Jilbabisasi dianggap sebagai suatu tanda globalisasi atau lambang identifikasi orang Islam Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern.
Lebih jauh ke belakang, seorang sosiolog dari George Washington University, al-Munajjed mengatakan bahwa jilbab tidak asli dari Islam. Bahkan menurut Sumanto al-Qurtuby, jilbab merupakan ‘kebudayaan sekuler’. Manusialah yang membuat pakaian itu beragama. Tradisi berbusana menutup aurat bagi perempuan sebenarnya sudah dipraktekkan jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Masyarakat Arab maupun non-Arab pada masa itu sudah memakai jilbab, meski masyhur yang dipakai dengan beragam bentuk dan model yang bermacam-macam.
Di Yunani mengenakan jilbab bagi seorang perempuan sudah menjadi suatu kebiasaan-tradisi. Bagi penduduknya, penggunaan jilbab ini dikaitkan dengan masalah teologi. Perempuan yang mengalami datang bulan dianggap tidak suci (tidak bersih) bahkan mudah dirasuki iblis. Sehingga, harus dibuang untuk diasingkan dan untuk menutupinya perempuan harus mengenakan jilbab.
Sekarang ini, jilbab lebih mengidentitaskan pemeluk agama Islam atau sebagai simbol keagamaan tertentu, yaitu sebagai identitas perempuan muslim. Menurut KH Husein Muhammad, lebih khas lagi jilbab dipersepsikan sebagai busana muslimah yang memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama. Secara sosial, persepsi ini akan membawa dampak kebalikannya. Yaitu bahwa perempuan yang tidak mengenakan jilbab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan yang taat.
Mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab sejatinya merupakan kekerasan berbasis agama yang menimbulkan gejala sosial yang lebih dalam. Sekaligus, pergeseran dalam tafsir dan pelaksanaan nilai-nilai agama. Lebih jauh, persoalan ini juga bisa mengarah kepada ekstremisme berbalut agama. Pandangan bagi perempuan yang telah berjilbab dinyatakan telah berhijrah sehingga mendapatkan predikat solehah dari masyarakat.
Terlebih bagi yang mengenakkan jilbab lebih panjang, dinilai semakin solehah dan memiliki akhlak yang baik. Tentu, hal ini akan memunculkan pandangan sebaliknya. Yakni perempuan yang tidak mengenakan jilbab bukan perempuan yang solehah atau memiliki moral yang baik.
Melihat persoalan di atas, maka dari itu perlu adanya kampanye guna melarang pemaksaan dan tekanan pada perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab dan pakaian Islami serta terus mempromosikan toleransi dan kebhinekaan. Sebab perempuan berhak atas hak yang sama sebagaimana laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan busana yang mereka pilih.