Peraturan Diskriminatif, Akar Permasalahan
Rentetan fakta memprihatinkan tentang pemaksaan jilbab di sekolah memberikan warning kepada kita bahwa bibit radikalisme di sekolah sudah semakin menguat. Percaya atau tidak, ideologi ekstrim sudah menyusup di dunia sekolah dengan sangat lihainya. Bagaimana itu terjadi? Andreas Harsono dari Human Right Watch mengatakan bahwa secara sederhana kasus perundungan jilbab terjadi karena adanya peraturan-peraturan wajib jilbab di berbagai provinsi yang muncul sejak tahun 2001.
Pernyataan ini beliau sampaikan dalam WGWC talk yang bertajuk “Bukankah Lembaga Pendidikan harusnya Jadi Ruang Aman Bagi Semua” 30 Agustus 2023 lalu. Lebih lanjut Andreas menambahkan bahwa menurut Komnas Perempuan total ada 122 Perda wajib jilbab dan yang masih berlaku sekitar 70an. Ini berlangsung sejak 20 tahun lalu. Hal senada juga disampaikan oleh Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog dan pendamping korban.

Menurutnya, pemaksaan jilbab dilakukan sistemik di dunia Pendidikan akibat Peraturan daerah yang diskriminatif. Menurutnya guru itu bukan berada di bawah Mendikbud,tetapi berada di bawah gubernur walikota atau bupati. Sebagai ASN guru terikat peraturan daerah, Karenanya. Ketika peraturan daerah memberlakukan peraturan wajib jilbab, maka peraturan itu juga akan berlaku pada salah satu dinas yaitu dinas Pendidikan yang biasanya pembebanannya akan jatuh ke pengawas sekolah. Dari pengawas sekolah menjadi surat edaran dan dari surat edaran kemudian diadopsi menjadi peraturan sekolah.
Yang terjadi kemudian adalah “Himbauan Menggunakan jilbab untuk siswi muslim di Sekolah Negeri Melalui Mapel PAI”. Secara tidak langsung ini merupakan pemaksaan jilbab melalui kompetensi dasar mata Pelajaran agama Islam. Dalam kurukulum 13 Mapel PAI poin 15 juga tertulis “Terbiasa berpakaian sesuai dengan syariat Islam” dan dalam poin 25 “Menunjukkan prilaku berpakaian sesuai dengan Syariat Islam”.
Hal inilah yang menyebabkan guru agama mempunyi tuntutan untuk menjilbabkan siswinya. Karena jika tidak, guru tersebut akan mendapat cap jelek sebagai guru agama Islam. Sebenarnya masalah akan selesai jika perda-perda diskriminatif itu dicabut. Namun pertanyaannya, mengapa sulit sekali untuk mencabut? Ada apa di balik itu?
Intoleransi, Akar dari Radikalisme
Sebenarnya pemerintah sempat mengeluarkan SKB Tiga Menteri pada tanggal 03 Februari 2021. SKB tersebut mengatur tentang ketentuan seragam di sekolah yang tujuannya adalah mencegah terjadinya kembali intoleransi di sekolah. Dua poin utama dalam SKB tersebut adalah bahwa pemerintah daerah dan sekolah negeri tidak berhak mewajibkan atau melarang seragam dengan atribut keagaman dan wajib mencabut aturan-aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atau atribut dengan kekhususan agama.
Sayangnya, SKB tersebut justru ditanggapi negatif oleh beberapa kalangan dari daerah. Beberapa mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Agung dan akhirnya Mahkamah Agung membatalkan SKB tersebut karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kalangan yang menolak dan mengkritik SKB tiga Menteri menilai bahwa harus ada aturan yang memaksa kepada peserta didik agar karakternya lebih terbentuk. Alasan itu diperkuat dengan menyebutkan bahwa cita-cita Pendidikan nasional adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Analisis saya, alasan-alasan yang dikemukaan tersebut memberikan indikasi bahwa Pendidikan kita sedang mengalami gelombang radikalisasi. Komodifikasi Pendidikan yang bersifat ideologis teologis dapat dilihat dari adanya ide-ide radikal yang menyusupi baik dalam kurikulum sekolah, kegiatan Ekstra sekolah seperti ROHIS, materi-materi ujaran kekerasan dalam pelajaran agama, juga termasuk kebijakan pemaksaan jilbab.
Seperti yang dikatakan Ifah Hanifah dalam WGWC Talk #28, sebenarnya bukan masalah jilbabnya, tetapi ideologi apa di balik pemaksaan jilbab itu? Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kelompok-kelompok radikal dan ekstrim walaupun sudah dibubarkan oleh pemerintah, namun gerakannya masih sangat eksis. Dengan dibubarkannya organisasi, mereka justru lebih gesit bermanuver dengan berbagai topengnya. Salah satunya adalah menjadikan sekolah sebagai sarana untuk menyemai dan menyebarkan ideologi mereka. Mereka menganggap bahwa sekolah adalah pusat kaderisasi yang paling efektif dan strategis.
Radikalisasi terjadi jika standar moralitas yang ditetapkan hanya berdasar pada satu agama sebagai standar nilai. Definisi tentang ketakwaan,keimanan dan akhlak mulia untuk membentuk moral siswa yang seringkali dijadikan alasan pembenaran pemaksaan jilbab hanya mengacu pada satu tafsir agama saja. Semangat purifikasi atau pemurnian agama harus menjadi dasar dari semua gerakan dan aktivitas termasuk di sekolah.
Memang benar moralitas menempati kedudukan yang penting dalam Pendidikan, namun peneguhan moralitas tersebut berbeda dengan radikalisasi Pendidikan. Jika moralitas bisa bersumber dan menerima agama apa saja, maka radikalisasi hanya bersumber pada satu tafsir agama sebagai standar. Itulah yang menjadi problem. Segala bentuk pemaksaan dan intoleransi tentu ujung-ujungnya mengarah pada radikalisme dan ekstrimisme. Kita tidak mau itu terjadi.
Netralitas Pendidikan
Indonesia dengan multikulturalismenya membutuhkan pendidikan yang netral, bukan radikal. Karakter pendidikan adalah belajar apa saja kepada siapa saja atau inklusifitas dalam pencarian ilmu. Radikalisme menyalahi karakter dasar pendidikan tersebut. Padahal, Bangsa kita di bangun di atas pondasi realitas politik, kebudayaan etnis dan juga agama yang plural.
Pendidikan agama memang perlu dilakukan untuk membentuk karakter peserta didik, tetapi tidak dengan menafikan karakter dasar bangsa yang plural tersebut. Penafian terhadap hal tersebut justru akan berujung pada sikap intoleransi yang akan merusak pondasi bangsa. Pendidikan harus memiliki jiwa membebaskan bagi semuanya, terutama bagi siswa.
Aturan sekolah yang diskriminatif seperti pemaksaan jilbab kepada siswi putri dapat berarti bahwa pendidikan tidak memberikan kebebasan manusia untuk memilih pendidikan yang sesuai dengan kapasitas dasar manusia yang bersangkutan. Sekolah Negeri harusnya menempatkan seluruh siswa sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama tanpa membedakan latar belakang agama, kelas sosial, suku bangsa atau jenis kelamin. Sekolah negeri juga seharusnya menjadi ajang pewujudan nilai-nilai kewarganegaraan yang inklusif sehingga tidak menjurus pada perilaku diskriminatif.