Upaya reintegrasi sosial dalam kasus terorisme menjadi suatu tantangan yang kompleks, namun sangat penting untuk memastikan pemulihan dan pemulihan sosial bagi individu yang terlibat. Pendekatan terhadap reintegrasi melibatkan proses mendalam untuk membimbing dan membantu individu terlibat agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi positif. Ini mencakup penyediaan dukungan psikososial, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pembinaan, dengan tujuan membangun kembali ikatan positif dengan masyarakat.
Sehingga, sangat penting dukungan dari masyarakat sekitar juga ditekankan, karena penerimaan dan inklusi dapat memainkan peran sentral dalam keberhasilan reintegrasi sosial. Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, reintegrasi sosial dapat menjadi langkah kunci dalam mengatasi dampak traumatis dan merestorasi kembali stabilitas bagi individu dan masyarakat yang terkena dampak oleh kasus terorisme.

Upaya pendampingan dilakukan oleh Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Jawa Barat dengan pendampingan berbasis literasi. Hal tersebut dilakukan oleh Silvia Rahmah. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya membantu klien dalam mengembangkan keterampilan membaca dan menulis, tetapi juga memberikan dukungan dalam memahami pemikiran moderat melalui literasi. Terdapat hal-hal yang menjadi kunci dalam pendampingan tersebut.
Pertama, yaitu silaturahmi literasi. Silaturahmi literasi ini dilakukan dengan kunjungan langsung ke rumah klien. ”Selama kunjungan, kami membawa buku-buku sebagai alat untuk membangun perpustakaan mini di rumah mereka. Ini menciptakan atmosfer positif dan mendorong pemahaman bahwa literasi dapat menjadi jendela dunia,” terangnya.
Langkah kedua yang dilakukan adalah dukungan khusus untuk keluarga. Setiap keluarga mendapatkan pendekatan khusus yang disesuaikan dengan kondisinya. Contohnya, dalam kunjungan ke dua keluarga yang didampingi, dirinya memperhatikan status dan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Termasuk keluarga dengan anggota yang merupakan eks-napi. Pendekatan ini membantu membangun hubungan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Langkah ketiga adalah transformasi rumah menjadi perpustakaan mini. Melalui kunjungan dan pendampingan, dirinya berusaha mengubah rumah klien menjadi lingkungan yang mendukung literasi. ”Buku-buku yang kami bawa tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga alat untuk membangun ikatan positif antara keluarga dan lingkungan sekitar,” ungkapnya.
Langkah keempat yang dilakukan adalah program edukasi untuk anak-anak. Selain memperhatikan anggota keluarga, dirinya juga melibatkan anak-anak kecil dalam program pendampingan literasi. ”Kami mengajak mereka untuk hadir, mengadakan kegiatan belajar seperti TPA, membacakan cerita, dan memperlihatkan bagaimana buku dapat menjadi sarana pembelajaran yang menyenangkan,” ucapnya.
Langkah kelima adalah membangun pemikiran moderat. Diakui olehnya, dirinya membawa sejumlah buku dengan disusun secara cermat, memberikan pemikiran-pemikiran moderat yang dapat membantu klien mencari jawaban atas kegalauan mereka. Tujuan utamanya adalah membangun pemahaman yang lebih seimbang dan moderat dalam pemikiran klien.
Langkah keenam, mengajak masyarakat setempat. Pendampingan tidak hanya berfokus pada klien, tetapi juga melibatkan masyarakat setempat. ”Kami aktif mengajak masyarakat untuk menerima keberadaan klien sebagai bagian dari masyarakat. Dalam konteks reintegrasi, dukungan masyarakat memegang peranan penting,” ucapnya.
Diakui olehnya, selama melakukan pendampingan terhadap narapidana teroris (napiter) hal-hal yang dilakukan banyak dilakukan secara otodidak. Walaupun ada dukungan dari pihak terkait seperti Didenpas, namun tidak setiap hari. Oleh karena itu, pengalaman dan karakter napiter menjadi hal krusial yang perlu dipahami dengan baik.
”Langkah awal yang saya ambil adalah memahami karakter dan latar belakang psikologis mereka, yang umumnya terganggu. Saya tidak langsung memasuki ranah agama, melainkan lebih fokus pada aspek psikologis dan mencari pemahaman mengenai bagaimana mereka bergabung dengan kelompok radikal,” katanya.
Pendampingan yang dilakukan, lanjutnya, mengacu pada panduan dari berbagai pihak terkait dan senior-senior walipas, serta mengaplikasikan ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan situasi di LPP Bandung. Di sisi lain, selama lima tahun terakhir, dirinya mulai mempelajari agama untuk memberikan kontra narasi terutama mengenai bagaimana mereka memakai narasi tertentu dan bagaimana saya dapat meresponsnya.
”Selama ini, fokus pendampingan tidak hanya pada napiter, melainkan juga pada narapidana lainnya, dan dalam menggabungkan berbagai ilmu dan panduan, kami selalu menyesuaikan dengan situasi di lapangan,” pungkasnya.