Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No.100/C/Kep/D/1991 yang membolehkan para siswi mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya. Hal tersebut menjadi dasar patokan penggunaan jilbab di lembaga pendidikan. Sepertinya, keputusan tersebut menjadi jawaban atas pelarangan jilbab di lingkungan publik, khususnya di lembaga pendidikan pada era orde baru. Ekspresi keagamaan, khususnya tentang jilbab di sekolah mengalami peningkatan yang cukup signifikan akhir-akhir ini.
Dulu, saya ingat ketika tahun 2004 hingga 2010-an, saat menempuh sekolah dasar, sering sekali melihat anak SMP dan SMA berpenampilan cukup beragam. Ada yang menggunakan jilbab, rok pendek, hingga memakai rok panjang, namun tidak menggunakan jilbab. Pemandangan itu, membuat selalu terlintas dalam benak karena, posisi sekolah saya, tepat di pinggir jalan sehingga seringkali melihat siswi SMP-SMA pulang ke rumahnya.
Pemandangan itu sirna ketika saya menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama negeri. Kewajiban menggunakan jilbab di sekolah negeri sudah diterapkan. Maka semenjak menempuh pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, yang keduanya adalah sekolah negeri, saya menggunakan jilbab sesuai dengan peraturan sekolah. Sebenarnya pada waktu itu, saya sempat bertanya dalam hati, mengapa pemandangan para siswi dengan seragam cukup beragam sudah dihapus. Padahal, berkenaan dengan pakaian, para siswi memiliki kebebasan untuk memilih jenis seragam seperti apa yang akan dikenakan di sekolah.
Fenomena ini ternyata memiliki dampak negatif yang terjadi pada beberapa sekolah negeri yang menerapkan kewajilbab berjilbab. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah adanya pemaksaan jilbab pada sekolah negeri di Padang. Pasca masalah tersebut, terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang di dalamnya tertulis bahwa, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratnya, mengimbau atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu. Artinya, para siswi berhak memilih menggunakan jilbab atau tidak sesuai dengan kenyamanan penggunaannya.
Penerbitan SKB 3 Menteri ini, apakah kemudian langsung menertibkan masalah pemaksaan jilbab di sekolah? Tentu tidak. Motif masalah justru semakin beragam, seperti hukuman penggundulan kepada siswi di sekolah negeri Lamongan karena tidak menggunakan ciput. Kasus terbaru juga pemotongan rambut karena rambut keluar dari batas penggunaan jilbab. Pro-kontra terhadap hukuman yang diberikan kepada siswi di sekolah terkait penggunaan jilbab terus terjadi.
Agama sebagai dasar patokan penerapan hukum di sekolah, menjadi landasan bagi para guru untuk menerapkan hukuman sesuai dengan aturan agama. Namun, sekolah negeri harus bisa menerima segala bentuk perbedaan pendapat, termasuk kebebasan ekspresi agama yang dianut oleh siswi. Hukuman yang dilayangkan oleh guru terkait penggunaan jilbab, tidak sejalan dengan prinsip negara yang memberikan kebebasan berpendapat dan ekspresi keagamaan yang beragam.
Kebebasan HAM
Dalam hukum hak asasi manusia, negara memiliki kedudukan sebagai pemangku kebijakan (duty bearer). Ekspresi keagamaan sebagai cara menyikapi pengalaman keagamaan merupakan hal wajib yang dipenuhi, dihormati, dan dilindungi oleh negara. Sebagai salah satu contoh, meskipun sholat adalah kewajiban yang perlu ditunaikan oleh seorang Muslim, lantas apakah kita perlu memaksa bahkan menghukum teman, yang tidak melaksanakan sholat? Artinya kita tidak perlu ikut mencampuri ekspresi keagamaan yang dilakukan oleh seseorang, termasuk tentang urusan pakaian yang dikenakan di sekolah.
Pemaksaan penggunaan jilbab yang terjadi di sekolah negeri, tidak hanya bertentangan dengan nilai-nlai hak asasi manusia, akan tetapi juga melukai dan mengikis pluralisme sebagai ciri keindonesiaan. Pemaksaan ini juga dilatarbelakangi oleh mentalitas mayoritarianisme dengan anggapan bahwa, penindakan tegas terhadap seseorang yang tidak menjalankan ekspresi keagamaan serupa, adalah suatu tindakan yang benar. Padahal, kenyatannya bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Ketidaksetujuan terhadap pemaksaan jilbab, atau hukuman kepada siswi yang tidak memakai ciput bukanlah pemikiran liberal terhadap agama. Akan tetapi, sikap memaksa atas nama agama, adalah sesuatu yang tidak pantas untuk dibenarkan. Sekali lagi, pemahaman terhadap agama adalah privasi yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk cara berpakaian. Dalam konteks sosial, atas asas kemanusiaan, menghargai cara pakaian seseorang adalah salah satu aturan yang perlu diikuti, termasuk oleh sekolah negeri.