29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Jilbab dan Dinamika Kepentingan di Belakangnya

Bicara soal jilbab, pikiran saya melayang kembali ke tahun 2000an di mana saya menjadi satu-satunya siswi yang berjilbab ketika saya duduk di bangku SMP Negeri. Ketika itu pihak sekolah memang tidak melarang, juga tidak memaksa untuk melepas jilbab. Namun saya agak kesulitan karena sekolah tidak memberikan fasilitas seragam panjang untuk saya. Alhasil secara tidak langsung saya merasa terkucilkan karena seragam saya terlihat aneh dan berbeda dengan siswa yang lain.

Meskipun kesulitan dalam beberapa aspek, namun saya tidak merasakan diskriminasi yang berarti dari guru-guru maupun teman-teman saya. Padahal jauh sebelum tahun 2000, di masa orde baru tepatnya, jilbab justru dilarang pemakaiannya di sekolah. Diskriminasi terhadap siswi yang mencoba berjilbab terjadi di masa itu. Ternyata saya lumayan beruntung karena ketika itu berada pada masa transisi antara orde baru dan reformasi.

Yang terjadi sekarang justru berbanding terbalik. Kalau dulu dilarang berjilbab, sekarang justru dipaksa berjilbab. Sudah banyak kasus yang mencuat di mana banyak siswi sekolah negeri yang dipaksa berjilbab. Mereka mengalami pembullian dan diskriminasi terus menerus sehingga banyak kemudian yang mengalami depresi karena mendapat tekanan secara mental.

Saya kemudian berfikir, kadang-kadang dunia bisa selucu itu ya. Ibarat roda yang berputar dan dengan mudah membalikkan posisi yang awalnya di atas menjadi di bawah ataupun sebaliknya. Fenomena jilbab memang tidak pernah jauh dari kontroversi. Dari awal munculnya, jilbab telah membawa wacana tersendiri di kalangan muslim.

Pada akhirnya jilbab tidak hanya sekedar selembar kain penutup kepala, melainkan juga diromantisasi. Dijadikan komoditas serta dimanfaatkan sebagai alat politik atas nama Islam dan kesalehan. Dalam konteks historis yang terjadi di Indonesia, jilbab telah melahirkan berbagai hirarki dan relasi kuasa di tengah Masyarakat.

Konstruksi Jilbab dari Waktu ke Waktu
Konsep jilbab pertama muncul bersamaan dengan kedatangan Islam. Pada masa itu, penamaan jilbab lebih familiar dengan nama kerudung. Kerudung ini wujudnya berupa kain selendang Panjang yang digunakan untuk menutupi bagian kepala Muslimah, dan sisa kain yang menjuntai dililitkan ke leher. Konsep menutup aurat dengan kerudung ini mulai berkembang bersamaan dengan kembalinya ulama yang belajar dari tanah suci Mekkah. Salah satu ajaran yang dibawa adalah kewajiban menutup aurat bagi muslimah.

Kata jilbab mulai dikenal sebagai kerudung panjang yang menutupi kepala hingga dada mulai dikenal sekitar tahun 1980an. Tahun yang berbarengan dengan peta politik global yang terjadi di Iran pada 1979. Revolusi Iran tersebut memberikan dampak penyebaran nilai-nilai Islam hingga ke seluruh dunia, hingga Indonesia.

Organisai-organisasi Islam yang muncul seiring berkembangnya Islam di Indonesia secara tidak langsung juga mendukung wacana jilbab. Muhammadiyah misalnya, mereka mulai melakukan misi penutupan aurat Perempuan untuk membedakan antara Perempuan dan laki-laki. Bentuknya bertahap, dari mulai kerudung yang masih terlihat rambutnya sampai terus bertransformasi menutup rambut perempuan. Sebaliknya, Masyarakat NU membawa wacana kerudung yang lebih fleksibel.

Dalam periode ini jilbab digunakan untuk membuat Perempuan menutup aurat sesuai ajaran Islam dan membedakan antra Perempuan dan laki-laki muslim. Jilbab digunakan sebagai penanda Perempuan muslim.
Revolusi Iran ternyata tidak hanya memberikan dampak pada penyebaran nilai-nilai Islam di Indonesia, namun juga mempengaruhi politik kekuasaan di masa orde baru. Ideologi keislaman yang masuk ke Indonesia menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintahan orde baru. Mereka khawatir jika ideologi tersebut akan menggerus nasionalisme dan menumbangkan rezim orde baru.

Karena itulah berbagai simbol keagamaan yang mengancam mendapat kecaman yang cukup keras dari pemerintah. Salah satunya melalui pelarangan penggunaan jilbab di ruang publik, termasuk di institusi Pendidikan. Peraturan itu mendapat banyak penolakan dari berbagai organisasi Islam sehingga banyak aktivis yang kemudian tetap memakai jilbab sebagai symbol perlawanan terhadap rezim orde baru.

Runtuhnya rezim orde baru membawa reformasi bukan hanya dalam hal ketatanegaraan, namun juga berdampak cukup signifikan terhadap fenomena jilbab di Indonesia. Jilbab yang awalnya dilarang dan symbol perlawanan politik akhirnya bisa bebas dikenakan. Inilah yang kemudian menjadi titik kebangkitan organisasi muslim yang sempat padam. Islamisasi pun terjadi dengan munculnya partai politik Islam, sekolah Islam, dan Perda-Perda Syariah.

Semakin ke sini jilbab semakin berkembang dengan berbagai karakteristiknya sendiri. Tiap kelompok dan organisasi bisa dengan bebas memberlakukan standar berpakaian tertentu pada para anggotanya. Ada yang standarnya harus menutupi dada,bahkan ada yang menutupi seluruh tubuhnya dan memakai cadar. Dari rentetan dinamika tersebut dapat dilihat bagaimana aspek politik dan identitas keislaman mempengaruhi wacana jilbab di Indonesia.

Trend Jilbab Masa Kini: Simbol Kesalehan.
Di masa sekarang, jilbab sering dikaitkan sebagai simbol kesalehan muslimah. Narasi jilbab sebagai pertanda kesalehan muncul di tahun 2008-an dengan melejitnya film-film Islami. Seperti, Ayat-ayat Cinta yang memberikan segudang imaji tentang bagaimana menjadi perempuan yang baik salehah dengan berjilbab.

Perempuan yang berjilbab akan dinilai memiliki adab, tutur kata, perilaku, dan moral yang lebih baik dibandingkan dengan Perempuan yang tidak berjilbab. Akhirnya, muncul standar tunggal di masyarakat bahwa jilbab adalah standar yang harus ada ketika memilih dan menilai Perempuan muslim. Jilbab sebagai simbol kesalehan ini akhirnya melahirkan diskriminasi terhadap muslimah yang tidak mengenakan jilbab atau tidak berjilbab sesuai standar.

Dalam ranah fashion yang terjadi adalah “jilbab lebar memiliki tingkat keimanan lebih tinggi dari yang jilbab pendek”. Dari situ kemudian muncullah trend fashion hijab syari yang jilbabnya mempunyai design lebar, Panjang, menutupi dada bahkan memanjang hingga ke pinggang. Dalam ranah politik, jilbab dimanfaatkan utuk menyukseskan sebuah kampanye politik tertentu.

Politisi Perempuan agar terlihat saleh kemudian memakai jilbab untuk mendapat simpati publik alih-alih meningkatkan keimanan. Wacana jilbab sebagai simbol kesalehan dalam ranah pendidikan juga terlihat dari aturan yang mengharuskan siswi menggunakan jilbab. Bahkan ada sekolah yang kerap mewajibkan siswinya mengenakan jilbab termasuk yang tidak beragama Islam. Jilbab menjelma sebagai standar baru yang wajib ditaati oleh semua Perempuan.

Jilbab yang terlihat seperti hanya selembar kain penutup kepala, ternyata mampu menghadirkan kontruksi sosial masyarakat dan bagaimana konstruksi itu menghadirkan wacana yang di belakangnya tersimpan berbagai kepentingan yang beragam. Karenanya, wacana jilbab yang populer saat ini sebagai simbol kesalehan jangan kita anggap itu sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Alih-alih sebagai simbol kesalehan, jilbab justru lebih dekat dengan wacana ekonomi dan resistensi politik. Sehingga perlu kiranya untuk kita mengkritisi fenomena pemaksaan jilbab dengan dalih syariat dan standar kesalehan. Karena parameter yang digunakan untuk mengukur kesalehan adalah takwa. Takwa berkenaan dengan akhlak dan perilaku, bukan selembar kain. Sehingga kurang tepat jika jilbab dijadikan standar untuk mengukur tinggi rendahnya kesalehan seseorang.

TERBARU

Konten Terkait