Paradigma Fundamentalisme Agama
Pada awal mulanya, istilah fundamentalisme berasal dari umat Kristen Protestan di Amerika Serikat sebagai sebuah usaha agar kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Adapun asas yang diusung dalam fundamentalisme tersebut yaitu, (1) Kitab suci secara harfiah tidak mengandung kesalahan (the literal inerrancy of the scriptures), (2) Kitab suci tidak dapat dipertentangkan dengan akal manusia, (3) Kitab suci tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, (4) mereka yang tidak sependapat dengan konsep tersebut dianggap Kristen yang tidak benar.
Dalam konteks Islam, fundamentalisme berawal dari persoalan teologis, namun dalam perkembangannya lebih merupakan teori politik. Gejala politik keagamaan tersebut memiliki rentang waktu yang sangat panjang. Secara makro, faktor yang melatarbelakangi lahirnya fundamentalisme adalah situasi politik. Sejarah membuktikan dengan munculnya fundamentalisme pada masa akhir Khalifah Ali bin Abi Thalib, disusul adanya pergolakan penolakan Mu’awiyah terhadap eksistensi kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Di Indonesia sendiri, kemunculan gerakan fundamentalisme menuai polemik yang menarik dalam ranah pergerakan dan perubahan di Indonesia, sehingga lahir suatu gerakan agama baru khususnya Islam yaitu Islam transnasional. Istilah Islam transnasional atau globalized Islam adalah pola pergerakan Islam mondial yang hendak membenamkan cita-cita Islam di pelbagai negara. Sebut saja Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi dan Jamaah Tabglih yang begitu intens untuk berdakwah menyebarkan ideologinya dengan merekrut anggota-anggota di berbagai ruang lingkup seperti sekolah dan masjid.
Kemunculan gerakan transnasional ini mendapat berbagai respon dari golongan organisasi masyarakat. Sebab gerakan ini berpotensial menghancurkan ideologi Pancasila, UUD 1945 dan memungkinkan akan menggoyahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih setelah pergantian rezim dari Orde Baru menuju era Reformasi, momen itu memunculkan kembali perdebatan antara Islam dan Pancasila. Polemik ini berkisar pada penolakan kelompok Islamis atas Pancasila yang dinilai bersifat sekuler bahwa Pancasila hanyalah dasar negara, ideologi dan falsafah buatan manusia yang derajatnya di bawah Islam.
Pandangan Ulama mengenai Pancasila
Berbagai penolakan dan kritik dari sebagian kelompok Islam terhadap Pancasila, menunjukkan ketidakmampuan dalam memahami titik temu antara kedua hal tersebut. Nahdlatul Ulama (NU) sendiri telah lama melakukan deklarasi keselarasan Islam dan Pancasila yang dirumuskan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1983. Yang kemudian dikuatkan melalui Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Tahun 1984. Melalui deklarasi ini, NU menegaskan bahwa Islam dan Pancasila merupakan dua hal yang selaras.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah cerminan dari nilai-nilai tauhid. Itu artinya Pancasila memuat nilai yang fundamental dari Islam. Sebagaimana yang disampaikan Gus Dur, bahwa salah satu sumber dari Pancasila ialah nilai-nilai agama. Dari kacamata Islam, nilai tersebut ialah tauhid yang tercermin dalam sila pertama.
Maka dari itu, dengan menempatkan sila Ketuhanan sebagai cerminan dari tauhid, maka sila-sila dibawah ketuhanan memiliki dimensi religius dan Islami. Sebab, sila-sila di dalam Pancasila merupakan kesatuan nilai. Ketuhanan menyifati dan disifati oleh sila-sila lainnya. Selain itu, tauhid juga mempraksis nilai-nilai kerahmatan yang tercerminkan oleh sila-sila Pancasila. Nilai nilai tersebut yaitu kemanusiaaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Nilai-Nilai Pancasila dalam Upaya Deradikalisasi
Kefanatikan dalam beragama dapat memicu terjadinya tindakan radikalisme bahkan mengarah terorisme. Pelaku terorisme pada dasarnya telah menyalahi nilai-nilai Pancasila, terutama dalam sila pertama. Dalam Sila Pertama, setiap warga negara sejatinya wajib berketuhanan Yang Maha Esa, sikap saling menghormati dan bekerjasama antar umat beragama harus diimplememtasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penting sekali untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam metode deradikalisasi, karena akan menyentuh tataran value, norms sampai behavior suatu individu yang kemudian akan memberikan wujud aman, tentram dan damai dalam kehidupan masyarakat.
Tindakan terorisme dan radikalisme masih menjadi ancaman bersama. Oleh karena itu, bangsa Indonesia saat ini harus banyak melakukan sosialisasi serta penghayatan dan pengamalan nilai-nilai pancasila, menumbuhkan nilai-nilai rasa kebangsaan dan rasa kewarganegaraan Indonesia, tidak lain upaya ini harus dilakukan baik oleh pemerintahan maupun masyarakat. Sebab, pancasila adalah ideologi bangsa yang harus terus diimplementasikan dan dijaga bersama.