Tren Kenaikan Gerakan Ekstremis Kulit Putih di AS
Kekalahan Donald J. Trump pada pemilu ternyata memiliki dampak signifikan terhadap gerakan ekstremis kulit putih di Amerika Serikat. Data the Brookings Intitution, organisasi non-profit yang melakukan riset kebijakan AS, menunjukkan bahwa semenjak 2016, kelompok supremasi kulit putih terus menggeliat. Bahkan pada akhir Juni lalu, seorang simpatisan Nazi mencoba melakukan serangan individu ke gedung putih, sebelum akhirnya ditangkap oleh pihak keamanan.
Data yang sama juga memperlihatkan bahwa supremasi kulit putih telah melakukan banyak serangan berprofil tinggi. Dibandingkan dengan terorisme jihadis, kekerasan supremasi kulit putih di Amerika Serikat seringkali lebih terhubung dengan perselisihan politik dengan konteks yang lebih luas. Mereka bukan saja mengusung keunggulan ras semata. Namun, gerakan mereka beririsan juga dengan sikap kebencian tingkat tinggi terhadap pemerintah, seperti yang ditunjukkan sejumlah kelompok supremasi kulit putih dalam peristiwa pemberontakan Capitol AS pada 6 Januari 2021.
Tidak hanya dipengaruhi oleh kekalahan Trump pada periode lalu. Geliat gerakan ini semaking meningkat juga disebabkan oleh gencarnya jaringan mereka yang kerap berkoordinasi melalui media sosial. Meski tidak semua berjejaring, namun gerakan sayap kanan yang ada berhasil memanfaatkan celah teknologi ini untuk merekrut dan menyebarkan propaganda.
Adam Gabbatt, jurnalis the Guardian, memaparkan data bahwa dari tahun 2016, jumlah serangan baik itu yang dilakukan secara individu atau berkelompok yang terafiliasi oleh gerakan ekstremis kulit putih mencapai 300-350 kasus per tahunnya. Grafik sementara menunjukkan tahun 2021 lalu, jumlahnya naik signifikan. Meski hal ini diperkirakan bisa naik kembali, terutama ketika mendekati tahun politik.
Selain upaya penyerangan individu kepada pemerintah, seorang ekstremis kulit putih pada tahun lalu dengan terang-terangan bertindak secara brutal dengan membunuh 10 orang kulit hitam di supermarket wilayah Buffalo, New York. Pelaku mengaku lantang bahwa ia memang sengaja melakukan serangan karena di sana merupakan wilayah yang didiami oleh mayoritas kulit hitam. Kelompok kulit hitam bukan menjadi satu-satunya target mereka. Aksi penyerangan juga terjadi pada kelompok lain seperti orang Asia dan Latin Amerika.
Pada tanggal 6 Mei 2023 lalu, seorang pria bernama Mauricio melakukan penembakan membabibuta di kawasan parkir yang menewaskan delapan orang yang sebagian besar berlatarbelakang Asia. Meski penyelidikan hingga kini masih berlangsung, pelaku tercatat memiliki riwayat paparan ideologi Nazi dan supremasi kulit putih, yang tampak dari laman media sosialnya. Meski aksi kejahatan dari kelompok ekstremis kulit putih terus bertambah.
Sayangnya, masih banyak kejadian rasisme yang tidak terlaporkan dan tercatat oleh pihak berwajib. Sebab jika menilik upaya penegakan hukum atas kasus rasisme dan diskriminasi, upaya yang dilakukan oleh pemerintah amat lah lamban. Hal tersebut, membuat korban enggan melapor, yang kemudian menyebabkan laporan kepolisian hanya mendeteksi kasus-kasus besar saja. Sedangkan kasus-kasus ‘kecil’ yang mungkin bisa menjadi penanda atau akar masalah kerap tak terdeteksi. Hal ini diperkirakan membuat jejak mereka menjadi kabur.
Rebranding Nama Gerakan, Wajah Baru Gerakan Ekstremis
Permasalahan lain yang mempersulit penindakan terhadap gerakan ekstremis adalah upaya mereka untuk mengganti nama gerakan menjadi lebih familiar dan halus di mata masyarakat pemerintah. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Moms for Liberty. Mom for Liberty sendiri didirikan tahun 2021 oleh Tina Descovich, Tiffany Justice, dan Bridget Ziegler. Sebagai anggota dewan sekolah, mereka awalnya fokus pada perintah penggunaan masker dan pembatasan COVID-19 lainnya di sekolah.
Mereka menganggap penggunaan masker merupakan pelanggaran kebebasan Hak Asasi Manusia. Dalam waktu dua setengah tahun, Moms for Liberty kini telah tumbuh menjadi 285 cabang dengan anggota lebih dari 100.000 di 45 negara bagian. Pada tahun 2022, lebih dari setengah 500 kandidat yang diendorse oleh organisasi tersebut terpilih menjadi anggota dewan sekolah. Meski terkesan tidak berbahaya, namun gerakan ini terafiliasi dengan kelompok supremasi kulit putih di AS.
Tidak hanya menolak penggunaan masker, mereka juga mencibir inklusi pelajaran sejarah perbudakan kulit hitam. Mereka menganggap pemberian materi tersebut sama saja dengan mempropagandakan gerakan anti-kulit putih. Beberapa anggotanya bahkan terang-terangan menyerukan penutupan masjid dan menolak melanjutkan warisan perjuangan Marthin Luther King Jr. karena dianggap memperburuk kondisi kelompok kulit putih.