Saya meyakini bahwa agama adalah panduan hidup yang berisi prinsip-prinsip dasar dalam membangun kehidupan. Sebagaimana Islam yang berasal dari kata aslama-yuslimu- islaaman yang artinya adalah keselamatan. Keselamatan untuk penganutnya dan juga seluruh alam raya. Tujuannya tentu saja agar manusia dapat hidup dengan tenang dan damai bersama manusia dan alam secara berdampingan. Sebagai rahmat untuk semua alam, itu misinya. Misi suci ini saya rasa dimiliki oleh semua agama.
Namun faktanya, seringkali kita melihat Islam sebagai sebuah agama, tereduksi oleh sikap-sikap yang jauh dari kata keselamatan, ketenangan dan kedamaian. Mulai dari pemaksaan jilbab, diskriminasi atas dasar keyakinan atau agama, perusakan rumah ibadah, hingga aksi teror yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga menimbulkan rasa takut secara massal, menimbulkan kerusakan terhadap fasilitas publik bahkan memakan korban jiwa.
Agama Islam yang sejatinya berisi prinsip-prnsip dasar dan nilai-nilai universal dalam membangun kehidupan dimaknai sebagian orang, khususnya kelompok radikal dan ekstrimis sebagai sebuah “bentuk yang sudah jadi” sejak awal diturunkan. Karena itulah kemudian mereka memahami Islam secara tertutup dan parsial. Akibatnya, agama ditampilkan sebagai sesuatu yang kaku dan menyeramkan. Stagnan, serta antipati terhadap dinamika dan kemajuan. Akhirnya mereka menjadi fanatik dan radikal, merasa paling benar dan intoleran terhadap kelompok lain. Jika hal ini dibiarkan maka akan mengarah pada ekstrimisme kekerasan, bahkan terorisme.
Keilmuan Keislaman dan Problem Kemanusiaan: Sebuah Tantangan
Tak dapat dipungkiri, Islam sebagai agama yang Tuhannya satu, dan ajarannya satu,pada kenyataannya memiliki tafsiran yang berbeda-beda. Artinya, ajaran agama sifatnya sakral dan pasti benar karena berasal dari Tuhan, sedangkan penafsiran terhadap agama sifatnya profan karena berasal dari manusia yang bisa benar, namun juga bisa salah. Ini yang harus difahami betul.
Interpretasi dan pemahaman ulama terdahulu bisa jadi benar ketika diterapkan pada konteks dahulu, tetapi juga bisa jadi tidak tepat jika diterapkan pada konteks sekarang. Dalam konteks inilah keilmuan keislaman menghadapi tantangannya. Bagaimana kemudian Islam tetap mampu menyentuh beragam problem kemanusiaan yang terjadi di era globalisasi dan transformasi sosial sekarang ini termasuk isu tentang radikalisme dan ekstrimisme.
Terminologi Jihad yang dipahami oleh kelompok radikal dan ekstrimis selalu identik dengan perang. Hal ini terjadi karena kelompok ini cenderung memahami ayat tentang jihad secara tekstual dan sangat parsial. Padahal secara konteks, ayat jihad turun pada masa-masa perang. Artinya, Jihad dalam konteks tersebut berarti ketika ada peperangan dari luar kita ditugaskan untuk membela diri, bukan ofensif. Itu pun ada ketentuannya dalam syariat, siapa yang berkewajiban perang, siapa yang harus diperangi, siapa yang tidak boleh disakiti saat perang dan situasi seperti apa yang mengharuskan kita berperang.
Dalam konteks sekarang yang sudah bukan zamannya lagi berperang, sudah aman dan damai, eh la kog melakukan aksi bom bunuh diri dan mengatakan itu sebagai bentuk jihad? Tentu ini adalah sebuah pemahaman yang keliru. Ketika seorang muslim melakukan intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok lain bahkan melakukan teror dan pembunuhan yang sadis dengan dalih jihad fi sabilillah, ketika itulah argumentasi faktual muncul. Yaitu bahwa pemahaman terhadap kajian keislaman gagal dalam memandu setiap individu menuju perilaku yang taat pada norma dan hukum. Ini contoh bagaimana pemahaman keislaman yang belum menyentuh dinamika problem kemanusiaan. Belum bisa menjelaskan dan belum bisa memberikan solusi.
Studi Islam: Urgensi Keilmuan Keislaman yang Komprehensif
Karena itulah, Ketika mengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam, saya selalu menekankan kepada mahasiswa akan pentingnya mempelajari Islam secara komprehensif. Bagaimana Islam tidak hanya berfungsi sebagai sebuah ajaran, tetapi juga sebagai solusi dalam merespon isu global. Tak dapat dipungkiri, Perkembangan sains dan teknologi telah membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia.
Di titik inilah Islam kemudian dihadapkan pada sisi yang sangat problematis dalam merespon permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks. Sejalan dengan hal tersebut, umat Islam harus bersikap responsif dan melakukan terobosan yang mengarah pada kemajuan dan dinamika internal umat. Jika tetap bertahan pada interpretasi umat terdahulu maka kita akan mengalami masa kevakuman intelektual seperti yang terjadi pada beberapa abad yang lalu.
Padahal sejatinya, jika Islam dikaji secara terbuka dengan pendekatan dan perspektif baru, justru akan memperluas cakupan Islam itu sendiri. Bukan lagi pemahaman yang parsial, tetapi pemahaman yang holistik dan komprehensif dalam meninjau studi keislaman dalam berbagai aspek.