Dibalik jeruji besi penjara, terjadi perubahan yang luar biasa pada individu yang pernah terjerat dalam jaringan terorisme. Setelah menjalani hukuman, mereka menghadapi tantangan baru: bagaimana membangun kembali kehidupan mereka, melawan masa lalu kelam, dan mencari jalan untuk berkontribusi positif pada masyarakat. Kehidupan pascapenjara mereka menjadi cerita tentang pembaharuan, pertobatan, dan tekad untuk meraih kembali hak mereka sebagai warga yang berkontribusi.
Dalam kegiatan WGWC Talk 26 yang bertajuk “Merdeka dari Stigma Teroris: Bisakah Rehabilitasi Nama Baik bagi Mantan Narapidana Teroris?” menceritakan kisah Imam (bukan nama sebenarnya) pasca dipenjara. Ia adalah mantan teroris lone wolf yang mempelajari ideologi teroris melalui media sosial. Sebagai seorang remaja yang mendekam di penjara, ia mengalami pasang surut kehidupan sebagai napiter. Menjadi napiter adalah pengalaman pahit sekaligus berharga dalam hidupnya karena, ia menerima banyak pengalaman sekaligus perlakuan yang tidak adil dari masyarakat.
Pasca keluar dari penjara dengan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kehidupannya mendapatkan tantangan baru. Mendapatkan diskriminasi sekaligus dibully bahkan diasingkan adalah hal yang wajar. Namun, upaya untuk bertahan hidup dengan mencari pekerjaan adalah salah satu jalan yang harus dilakukan. Pada kenyataannya, ia di mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lantaran pernah dipenjara lantaran terjerat kasus terorisme.
Bagi Imam, salah satu stigma yang semakin membuat kuat keberadaan dirinya sebagai mantan penjahat adalah media. Perilaku buruk, termasuk aksi terorisme, di mana ia terlibat di dalamnya, masih terekam jelas di media sehingga hal itu yang membuat susah hilang. Bahkan ketika dicari oleh generasi yang akan datang, kabar tentang dirinnya pernah terlibat dalam kasus terorisme masih ada. Berdasarkan cerita Ivan, sudahkah pemerintah mengawal tuntas kehidupan mantan napiter? Termasuk tanggung jawab atas kehidupan pasca dipenjara.
Deradikalisasi oleh Pemerintah
Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu dan sistematis dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Deradikalisasi berasal dari kata dasar radikal , berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar (pohon) atau sesuatu yang mendasar. Deradikalisasi dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme.
Berdasarkan literatur atau kesaksian para teroris yang akhirnya mengucapkan ikrar setia terhadap NKRI, dipengaruhi oleh proses deradikalisasi yang menjadikan para napiter sebagai subjek, bukan objek. Artinya, mereka merasa menemukan titik perjalanan baru dalam hidupnya sehingga memutuskan untuk berikrar kepada NKRI. Sementara itu, pasca deradikalisasi dan para napiter mengucapkan ikrar setia, selesaikah tugas pemerintah? Tentu tidak.
Kehidupan pasca dipenjara para mantan napiter harus diperhatikan karena ini berkenaan dengan ruang aman dan ruang hidup yang akan mereka lakukan. Jika mereka tidak memiliki ruang tersebut, kemungkinan besar akan kembali pada lingkaran terorisme seperti kehidupan sebelum dipenjara. Perlu diketahui bahwa, pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan kehidupannya sesuai dengan pasal 28A dalam UUD 1945.
Begitu pula dengan eks-napiter yang membutuhkan kesempatan kedua untuk hidup lebih baik di lingkungan masyarakat. Namun, beberapa dari eks-napiter mengalami perlakuan yang kurang mengenakkan karena mereka hanya dianggap sebagai aib bagi masyarakat. Yang tidak tahan, umumnya akan langsung pindah ke tempat lain dan kembali berjihad dengan kelompoknya.
Peran Pemerintah Terhadap Para Napiter
Pemerintah memiliki peran besar terhadap pendampingan kepada para napiter. Pasca dipenjara, mereka seperti dilahirkan kembali sehingga membutuhkan support system dalam menjalani kehidupan. Dari segi pengetahuan, mereka perlu bimbingan dari pemuka agama yang memiliki pengetahuan dan wawasan agamanya lebih tinggi. Pasca dipenjara, perlu peran tokoh agama untuk terus mendampingi dan tugas pemerintah adalah bagaimana memberikan fasilitas tersebut.
Selain itu, perlunya ruang untuk para eks-napiter bekerja atau mengaktualisasikan kemampuannya agar dia mampu bertahan hidup dan bisa mandiri. Apabila banyak kendala bagi mereka untuk mencari kerja, bahkan di PHK lantaran jejak digital yang tidak bisa dihapus atas kasus terorisme yang menjeratnya. Pemerintah harus memberikan ruang pekerjaan bagi mereka sehingga kehidupan pasca dipenjara tetap terjamin tanpa meniadakan peran dan kemampuan yang dimiliki.
Pemerintah perlu lebih banyak menciptakan ruang-ruang belajar bagi masyarakat. Mulai dari seputar pengetahuan tentang terorisme sehingga ke depan, eks napiter tidak diperlakukan sebagai virus atau ditakuti. Meskipun, sudah berikrar kepada pemerintah. Dengan demikian, masyarakat tidak anti terhadap eks napiter karena sudah dibekali pengetahuan tentang masalah terorisme. Sebagai pelayan rakyat, pemerintah harus benar-benar teliti dalam persoalan terorisme, karena masalah ini bukan hanya masalah nasional akan tetapi masalah global yang menjadi PR dunia.