Di banyak negara barat, terutama usai peristiwa 11 September, Islam dipandang sebagai agama penuh kekerasan dan pemicu konflik. Dalam sejumlah survei publik, masyarakat di sana juga menganggap bahwa penerapan hukum syariah sama saja dengan implementasi sistem hukum, Di mana penuh dengan hukuman cambuk dan kematian. Tidak berhenti di situ, kesalahpahaman mengenai Islam dipicu oleh faktor eksternal lain. Seperti, pemberitaan yang keliru tentang Islam oleh jurnalis Barat, dan bagaimana penggambaran Islam dalam buku-buku akademik.
Dalam buku akademik, Islam terlalu sering dikaitkan dengan gambar seorang laki-laki berjubah menunggang kuda yang membawa pedang Panjang. Secara tidak langsung, hal ini kian menguatkan bahwa Islam identik dengan kekerasan dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Kekeliruan dalam memaknai Islam tidak hanya dialami oleh non-muslim saja. Di kalangan internal sendiri, umat masih banyak yang mengamini bahwa penerapan hukum di masa lampau hukumnya wajib, meski kini zaman telah berubah.
Selain itu, sejumlah pihak menilai bahwa Islam harus dipahami secara tekstual, yang berakibat bahwa hukum yang dulu berlaku harus disamaratakan dengan sekarang. Dengan kata lain, jika dahulu Islam di bawah Rasul memiliki satu pemimpin. Berarti idealisasi Islam berwujud dengan menundukkan semua negara mayoritas Muslim di bawah satu kekhilafan besar. Kemudian, mendorong munculnya kelompok ekstremis seperti ISIS, Al Qaeda, dan sebagainya.
Kesalahan cara pandang dalam memahami Islam berakar dari sikap tertutup yang hanya ingin memahami Islam hanya sebatas permukaan, bukan secara komprehensif. Padahal jelas, dalam Al Quran Surat Al-Mumtahanah ayat ke-8 tertulis: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Lebih lanjut, jika menilik sejarah Islam lebih teliti, kita juga akan disuguhkan bahwa yang dinamakan syariah zaman dulu merupakan cara perlawanan “terorisme era sekarang”. Bagaimana tidak? Prinsip umat Islam dulu ketika berperang adalah melakukan kebaikan seluas mungkin dengan melindungi hak-hak sipil. Pejuang dalam jihad dilarang membunuh perempuan, kelompok lanjut usia, dan anak-anak.
Menyerang musuh hanya untuk memberi peringatan, bukan diniatkan untuk melukai atau menyiksa lawan. Di samping prinsip-prinsip dasar tadi, sejarawan terkemuka Timur Tengah, Bernard Lewis, menyatakan bahwa umat Muslim zaman dulu tidak pernah pergi ke berperang dengan niat buruk membunuh atau menghabisi lawan sebanyak-banyaknya. Justru mereka berusaha untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi.
Bahkan secara lantang, Rasul berpesan bahwa ketika berperang, pasukannya tidak boleh membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, hingga memburu kambing yang akan merugikan generasi berikutnya. Wejangan Nabi tadi menyiratkan betapa Islam tidak hanya menekankan pada penghargaan kepada makhluk hidup dan kelestarian alam. Akan tetapi, mengimplementasikan prinsip keberlanjutan agar anak cucu pada generasi selanjutnya dapat menikmati hal yang sama.
Berkaitan dengan hal tersebut, Misionaris Kristen, T.W. Arnold, menambahkan bahwa, “… Jika khalifah-khalifah dahulu memilih untuk mengadopsi tindak kekerasan (seperti kelompok terorisme masa kini). Mereka mungkin telah melenyapkan Kekristenan dengan mudah seperti halnya Ferdinand dan Isabella mengusir Islam dari Spanyol, atau Louis XIV yang memaksakan Protestantisme. Namun, kita justru tidak pernah mendengar khalifah dulu memaksakan Islam kepada umat beragama lain. Mereka justru saling bergandengan tangan, menghargai satu sama lain”.
Apa yang dikatakan Arnold tadi menunjukkan fungsi dari hukum Islam untuk melindungi status istimewa minoritas. Tak heran, sebelum gerakan ekstremisme menggeliat, tempat-tempat ibadah non-Muslim berkembang dengan baik di seluruh dunia Islam. Catatan Sejarah juga memperlihatkan banyak contoh toleransi Muslim terhadap keyakinan lain: ketika khalifah Umar memasuki Yerusalem pada tahun 634, Islam memberikan kebebasan beribadah kepada semua komunitas agama di kota tersebut.
Seluruh penduduk dari latarbelakang apapun memiliki hak hidup dan properti mereka aman, dan tempat-tempat ibadah mereka tidak pernah dirusak. Khalifah Umar bahkan meminta patriark Kristen Sophronius untuk mendampinginya dalam mengunjungi semua tempat suci. Hukum Islam pada masa itu memperbolehkan minoritas non-Muslim untuk mendirikan pengadilan mereka sendiri, yang mengimplementasikan hukum keluarga yang disusun oleh minoritas itu sendiri.
Kehidupan dan properti semua warga negara di negara Islam dianggap sakral baik orang tersebut Muslim maupun tidak. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa hukum syariah yang sejati bukan berarti kita harus memaksakan kelompok lain untuk tunduk mengikuti Islam. Justru sebaliknya, Islam memberikan ruang dan kebebasan bagi seluruh manusia dan mendorong kebaikan seluas-luasnya sesuai dengan ajaran yang mereka anut.