Tak hanya disalahpahami oleh muslim karena penyampaian metode sejarah yang kurang tepat, sejarah islam yang identic dengan ekstrimisme ini juga banyak dinyatakan oleh orientalis. Seperti Edmund Bosworth dan Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang haus darah. Islam juga agama yang melegalkan kekerasan untuk mencapai tujuan. Militeristik oleh John L Esposito diyakini sebagai suatu kebijakan aneksasi yang diberlakukan Islam sebagai strategi perluasan teritorial dan menyebarluaskan ajaran keagaaman. Dengan berbagai alasan tersebut, wajah sejarah islam semakin menunjukkan sisi militeristiknya dibanding dengan humanismenya.
Menggunakan Pendekatan Geopolitik
Selain kontekstualisasi sejarah, pendekatan geopolitik juga diperlukan untuk membebaskan sejarah islam dari stigma ekstrimis. Yaitu sebuah kajian mengenai faktor geografis dalam menentukan kebijakan politik suatu negara dalam penguasaan sumberdaya. Contohnya dalam memaknai ayat qital, harus dilihat juga bagimana keadaan geopolitik saat ayat tersebut diturunkan.
Jika kita merujuk kepada mufassir, asbabun nuzul dari ayat yang berkaitan dengan qital (pembunuhan) mayoritas bersumber dari pengaduan kaum muslimin atas penganiayaan yang dilakukan oleh bangsa Quroisy. Namun pengaduan tersebut tak lantas menjadi lampu hijau untuk melakukann peperangan. Izin perang baru turun jika Muslim sudah mendapatkan aniaya fisik berat, dan jika ia diperangi karena pilihannya menjadi muslim. Keputusan untuk mengambil jalan perang juga baru diperbolehkan jika Islam sudah mendapatkan serangan terlebih dahulu.
Jauh sebelum Islam lahir di tanah Arab, peperangan sudah menjadi tradisi yang mengakar di wilayah tersebut. Penguasaan wilayah pada masa Arab Pra Islam, didasarkan atas kekuatan fisik dan kekuatan sukuisme yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Penyebaran Islam dengan jalan mediasi, diskusi, tidak akan bisa diterima ditengah kondisi masyarakat yang demikian.
Maka yang harus dilakukan saat ini berjuang dan berjihad sesuai dengan kondisinya masing-masing, tidak dengan mengobarkan semangat perangnya. Perang yang terjadi saat itu bukanlah suatu syariat yang harus ditiru muslim pada periode selanjutnya. Melainkan satu-satunya cara untuk bertahan dan berkembang saat itu, dan merupakan cara paling efektif dalam penyebaran agama Islam dan perluasan teritorial.
Kajian dalam kontek geopolitik ini membuka kesadaran kita semua bahwa kebijakan politik suatu daerah sangat berkaitan dengan kondisi geografisnya. Pun demikian dengan kebijakan militeristik di masa penyebaran agama Islam. Kajian sejarah dalam konteks kekinian memang diperlukan, dengan tanpa meninggalkan faktor geografis, sosial, dan politik dimana sejarah tersebut tumbuh dan berkembang.
Distingsi yang cukup berjarak antara pemahaman militeristik sebagai suatu ajaran dan dokstrin, dengan militeristik dalam pendekatan humanisme tak akan bisa menghasilkan titik tengah jika dikaji menggunakan pendekatan de facto saja. Karena keduanya sama-sama berangkat dari sebuah kenyataan dan memiliki claim truth masing-masing.
Hanya mengkaji konteks masa kini tanpa menelisik latar belakang tentunya tidak akan menghasilkan analisis sejarah yang mencerahkan. Apalagi jika menggunakan ayat perang di masa penyebaran agama Islam sebagai pembenaran tindakan ekstrimisme. Merupakan bagian dari penghinaan terhadap fakta sejarah dan nilai perdamaian yang diajarkan oleh Islam.
Fokus Pada Bagaimana Mengambil Hikmah dari Suatu Peristiwa
Dalam Islam kita mengenal prinsip al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah yang artinya menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam pembelajaran sejarah islam. Dengan menerapkan prinsip tersebut, maka pembejlaaran Sejarah islam tidak focus pada mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun menekankan pengambilan hikmah dari suatu kejadian. Kejadian manakan yang bisa direplika dan dikembangkan di masa sekarang. Serta kejadian mana yang harus ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan dimasa saat ini.
Karena bagaimanapun, realitas dan fakta tersebut telah diyakini kebenarannya. Yang dibutuhkan saat ini ada melakukan analisis kenapa falta tersebut bisa terjadi. Jika fakta tersebut ternyata bermuatan negative, maka ditelusuri kenapa hal itu terjadi dan apa yang harus kita antisipasi agar kejadian tersebut tidak diulang di masa kini. Contohnya dalam peristiwa perang saudara sesame muslim saat perang shiffin dan perang Jamal.
Pun demikian dengan kejadian yang bermuatan positif, dikaji kenapa hal positif tersebut terjadi dan apa yang harus dilakuka oleh muslim masa kiri agar kebaikan tersebut terus tersemaikan. Contohnya dalam peristiwa ammul jamaah saat sayyidina Husein secara sukarela menyerahkan kepemimpinan ke Muawiyah tanpa tumpah darah.