29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Bisakah Kita Memberikan Label Radikalisme kepada Pelaku Diskriminanasi Jilbab?

“Masyarakat di Indonesia itu sebenarnya toleran. Namun lebih toleran kepada pemeluk agama lain, dibandingkan kepada agamanya sendiri,” ucap seseorang dalam diskusi yang bertajuk dalam ekstremisme dan radikalisme

Kalimat ini saya rasa sangat cocok dengan kasus jilbab, yang mana sampai hari ini masih belum menemukan titik terang. Ketika bertemu dalam ruang online, bersama Andreas Harsono, Keyla dan Rere (siswa yang mendapat perundungan di sekolah akibat tidak menggunakan jilbab), saya merasa bahwa persoalan kesalehan universal yang diciptakan di masyarakat. Hari ini menjadi sebuah oase masalah baru yang tidak menemukan ujung penyelesaiannya.

Dalam forum tersebut, Keyla dan Rere bercerita tentang pengalamannya mendapatkan diskriminasi di sekolah karena tidak menggunakan jilbab. Persoalan ini, kita diingatkan dengan kejadian yang dialami oleh siswi SMAN I Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta yang mengalami depresi karena dipaksa gurunya memakai jilbab sebagai pelengkap seragam di sekolah. Tidak hanya itu, pada 2021 silam, adalah seorang siswi non muslim di Sumatera Barat protes karena dipaksa memakai jilbab.

Masalah ini viral di media sosial dan melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada Februari 2021. Sejak pertama kali diperkenalkan di Sumatera Barat pada tahun 2001, Indonesia telah memiliki 120 aturan daerah wajib jilbab, 73 di antaranya masih berlakku. Sanksi yang diberikan seperti peringatan lisan, dikeluarkan dari sekolah hingga hukuman penjara. Jika sudah begini, bukankah negara kita sama dengan Iran yang menerapkan polisi moral terhadap warganya yang tidak berjilbab.

Sayangnya, pada bulan Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan amandemen peraturan tersebut, yang secara efektif memutuskan bahwa anak perempuan di bawah usia 18 tahun tidak memiliki hak untuk memilih pakaian mereka sendiri. Berdasarkan keputusan tersebut, itu berarti bahwa anak-anak di sekolah harus mengikuti peraturan yang diterapkan oleh masyarakat, bahkan pemerintah dalam segi penampilan. Hal ini berarti pula bahwa, tidak ada masalah apabila sekolah menerapkan wajib jilbab meskipun anak-anak merasa tertekan bahkan merasa tidak nyaman dengan pakaian yang dikenakan untuk mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.

Kesalehan Universal di Sekolah
Sekolah negeri berbeda dengan sekolah swasta yang memiliki otoritas sendiri terhadap lembaga yang dijalankan. Jika sekolah swasta biasanya, kebijakan mengacu terhadap pemilik yayasan. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan milik swasta biasanya memiliki fokus tertentu yang menjadi keistimewaan. Misalnya, lembaga pendidikan Islam atau lembaga pendidikan yang fokus terhadap ajaran-ajaran agama tertentu. Akan tetapi, jika lembaga pendidikan tersebut negeri atau milik pemerintah, maka harus terbuka untuk semua golongan, mulai dari ras, suku, bahkan agama.

Aturan terhadap penggunaan pakaian tertentu, menjadi salah satu persoalan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah karena, orang-orang yang masuk kepada sekolah negeri, tidak semua beragama Islam. Lagipula, pilihan untuk menggunakan pakaian-pun, berbeda-beda setiap orang. Meskipun pada kalangan umat Islam sendiri, aturan tentang penggunaan jilbab di sekolah tidak semestinya diberlakukan karena para siswa berasal dari kalangan agama berbeda.

Sementara itu, berdasarkan pengalaman yang disampaikan oleh Keyla dan Rere, pilihan untuk tidak menggunakan jilbab mendatangnya banyak masalah. Guru BK memberikan sanksi lantaran tidak berjilbab serta berpengaruh besar terhadap nilai yang didapatkan di sekolah. Sementara itu, perundungan yang dilakukan oleh para gurunya di kelas, serta teman-temannnya di sekolah lantaran tidak menggunakan jilbab, semakin mengakar karena, dia adalah orang Islam yang tidak menggunakan jilbab.

Kenyataan ini tidak tentu tidak hanya terjadi para Keyla dan Rere. Banyak siswa lain yang dianggap tidak bermoral, tidak sempurna agamanya hanya karena tidak menggunakan jilbab. Guru menjadi sanksi moral di sekolah kepada para siswa yang memilih tidak berjilbab. Sementara itu, siswa yang tidak menggunakan jilbab tidak pernah mendapatkan konseling di sekolah dengan pendekatan empati. Mereka justri dihakimi, dianggap tidak bermoral, karena pilihan pakaian atas tubuhnya.

Fenomena ini justru menguatkan kepada para siswa, di mana notabenenya mereka adalah orang yang masih melakukan pencarian dalam hidup, masih remaja, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, diperkenalkan dengan ajaran agama yang memaksa, bahkan direpresentasikan secara kasar oleh para guru dan teman-teman di sekolah. Kesalehan universal diciptakan oleh sekolah meskipun para siswa mendapatkan perundungan, merasa tidak aman bahkan mengalami trauma yang panjang dalam hidupnya.

Jika sudah berakibat besar terhadap kehidupan anak sekolah, bisakah kita menyebut mereka adalah orang radikalis? Sekolah kerap memaksa siswa untuk menggunakan jilbab tanpa berpikir kondisi anak yang mengalami perundungan. Bahkan mengalami trauma akibat pilihannya yang tidak menggunakan jilbab. Ini juga menjadi salah satu dosa besar pendidikan di Indonesia.

TERBARU

Konten Terkait