31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Kenapa Sejarah Islam Identik dengan Ekstrimisme (1)

Pelajaran sejarah peradaban Islam pertama kali saya dapatkan di bangku tsanawiyah atau setara SMP. Dan semenjak itu, narasi akan kekerasan, kebengisan, pembunuhan, pertumpahan darah menjadi bumbu dari semua kisah sejarah Islam. Pun demikian dengan pelajaran sejarah di tingkat Aliyah setara SMA, hingga ke perguruan tinggi. Sama sekali tidak menarik, karena ritme nya sudah bisa ditebak. Perang perebutan kekuasaan, penguasaan wilayah, masa kejayaan, masa kemunduran, perang antar saudara, pergantian kepemimpinan.

Hingga saya merasa di fase kejumudan untuk mempelajari (lagi) sejarah islam, karena merasa tidak mendapat apa apa kecuali kebencian. Selalu terbersit pertanyaan, kenapa harus perang? kenapa antar sesama saudara kok saling membunuh, kenapa sesama muslim kok saling memfitnah, kenapa cara membunuhnya sangat keji, dan ratusan pertanyaan lain yang memenuhi kepala.

Barulah saat menempuh pendidikan magister di Universitas Indonesia, saya mendapatkan sedikit pencerahan tentang bagaimana mempelajari sejarah islam. Saya masih ingat, saat itu perkuliahan budaya dan politik Timur Tengah yang diampu oleh Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A. Kebetulan saat itu saya mendapatkan tugas untuk presentasi perkembangan sejarah islam masa pertengahan.

Sebagaimana materi yang saya pahami di tingkat pendidikan sebelumnya, dengan penuh percaya diri saya menjelaskan kebengisan Muawiyah saat perang Shiffin melawan Ali bin Abi Thalib. Karena memang itulah yang saya pahami dari tingkat tsanawiyah, Muawiyah gila kuasa, Muawiyah jahat, Muawiyah licik. Belum selesai materi saya sampaikan, Prof. Amani meminta saya duduk bersama teman-teman yang lain.

Saya kaget karena komentar Prof. Amani cukup pedas dalam merespon presentasi saya. Saya masih ingat, beliau menyatakan bahwa saya belum layak duduk di magister UI karena pemahaman sejarah saja yang masih tekstual dan bersifat informatif. Hanya menjelaskan kejadian, fakta sejarah, timeline, sebagaimana pembelajaran sejarah pada umumnya. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa diskusi sejarah islam yang masih menggunakan paradigma lama ini akan semakin melanggengkan ekstrimisme. Loh terus bagaimana belajar sejarah yang sesungguhnya? Bukannya memang narasi ekstrimisme itu melekat dalam setiap proses?

Pentingnya Kontekstualisasi Sejarah
Yang luput dari proses pembelajaran sejarah islam adalah penjelasan awal berkaitan dengan bagaimana konteks sosial yang berkembang saat peristiwa tersebut terjadi. Dalam memahami fakta peperangan misalnya. Peperangan yang terjadi di awal masuknya Islam di jazirah Arab, berkaitan erat dengan kondisi geografis saat itu. Keadaan yang gersang, hawa yang panas, lahan yang tandus, menjadikan hukum rimba sebagai suatu benteng pertahanan untuk hanya sekedar memberikan hak pada perut.

Salah satu lawan yang dihadapi Islam adalah bangsa Persia, dan Romawi. Persia menduduki daerah Syam pada saat ini mencakup daerah Suriah (Aslinya Suriya maksudnya Negeri Siroyan) dan Lebanon, Palestina serta Yordania. Orang syam membuat aturan di Syam semenjak masa Nuh sampai hari ini, dan dikenal dari mereka itu sangat perkasa dalam peperangan dan suka dalam bepergian serta selalu bersegera dalam belajar.

Maka satu-satunya cara untuk menyebarkan agama Islam diwilayah yang suka berperang adalah dengan peperangan juga. Pilihannya hanya dua, menjadi bagian dari peradaban besar atau merebut dan membangun peradaban sendiri. Faktor geografis Arab yang dipengaruhi oleh gurun-gurun pasir yang luas dan tandus mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang terkesan keras dan berpengaruh pada kejiwaan masyarakatnya. Arabia sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serbuan dan penindasan bangsa asing.

Pada sisi lainnya, kegersangan negeri ini mendorong mereka menjadi pedagang- pedagang ke daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang Sahara juga menimbulkan semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan akan kebebasan ini membuat mereka tidak pernah menerima dominasi pihak lain.

Dengan menjelaskan kondisi sebagaimana diatas, maka pembaca sejarah dan juga murid yang mendapatkan pembelajaran sejarah akan bisa membayangkan bagaiman setting sosial yang terjadi, sehingga perang saat itu nyaris menjadi satu-satunya cara untuk menyebarkan agama Islam. Sama halnya dengan penjelasan kenapa Indonesia menggunakan bambu runcing dalam melawan penjajah? Karena musuhnya Belanda yang membawa senjata. Penggunaan bambu runcing oleh pejuang saat kemerdekaan tidak memunculkan pemahaman yang ekstrim karena kita memahami lawannya saat itu adalah Belanda dengan senjata yang lengkap.

TERBARU

Konten Terkait