26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Kekerasan Terhadap Anak dan Berkembangnya Radikalisme, Apa Hubungannya?

Saya rasa kita semua tahu bahwa menjadi “Sang Pengantin” adalah sebuah ideologi keyakinan dan menjadi cita-cita tertinggi para pelaku teror bom bunuh diri. Namun belum banyak yang mengetahui mengapa ideologi tersebut dapat tertanam kuat dalam diri pelaku. Banyak peneliti yang menawarkan argument yang berbeda dengan tujuan deteksi dini. Ada yang mengatakan karena adanya ketimpangan dalam sistem sosial, ada yang mengatakan karena faktor ekonomi, tergantung sudut pandang mana yang diambil.

Di antara banyaknya variabel itu, penelitian Muhammad Thohir memberikan argumen baru dengan melihat radikalisme dari sisi psikologi dan pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul “Radikalisme Versus Pendidikan Agama Menggali Akar Radikalisme Dari Kekerasan Terhadap Anak Atas Nama Pendidikan Agama”, Thohir menganalisis bahwa pelaku teror dapat terbentuk dari seorang anak yang mengalami kekerasan selama terus menerus. Bahwa terdapat relasi yang linear antara fenomena kekerasan terhadap anak-anak dengan berkembangnya radikalisme. Apa dan Bagaimana itu?

Kerentanan Anak Terhadap Kekerasan Langsung Maupun Tidak Langsung
Munculnya trend dimana rekrutmen gerakan radikal beralih ke keluarga dan sekolah memunculkan sebuah pertanyaan penting. Mengapa kemudian kelompok radikal ini menyasar keluarga dan anak muda? Menurut Thohir salah satu penyebabnya adalah kerentanan anak-anak terhadap kekerasan yang bisa mereka alami baik di rumah maupun sekolah.

Dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak-anak rentan mengalami kekerasan, karena melibatkan pelaku yang berkedudukan lebih tinggi dari anak. Baik oleh orang tua di rumah, maupun guru di sekolah. Thohir mengatakan bahwa kekerasan ini bisa berupa kekerasan langsung dan tidak langsung. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dapat dilihat langsung dampaknya. Seringkali kekerasan langsung disamakan dengan kekerasan fisik.

Misalnya ketika anak dipukul atau ditendang oleh ayah atau ibu. Kekerasan ini bahkan menyebabkan sang anak harus dilarikan ke rumah sakit. Mirisnya, biasanya hal itu dilakukan karena anak melakukan kesalahan seperti mengompol, tidak patuh, dianggap nakal dan masalah-masalah sepele lainnya. Atau kekerasan langsung yang terjadi di sekolah, seperti siswa yang dihajar guru karena nakal, tidak mengerjakan tugas atau membantah guru.

Kekerasan tidak langsung adalah kekerasan yang tidak langsung terlihat dampaknya. Meski demikian, dampak tersebut akan terlihat dalam jangka panjang. Misalnya model pengasuhan yang menyerang mental anak seperti meremehkan anak,berteriak di depan anak dan mengancam anak. Penelantaran anak dengan tidak memberikan anak kasih sayang dan perhatian juga termasuk dalam kategori kekerasan tidak langsung dalam ranah keluarga. Dalam jangka panjang hal ini akan membentuk karakter anak yang tidak percaya diri, depresi dan merasa tidak berharga.

Dalam lingkungan Lembaga Pendidikan, kekerasan tidak langsung bisa berupa pengajaran atau buku-buku Pendidikan Agama Islam yang isinya berbau kekerasan dan memuat materi intoleransi yang mengarah pada paham-paham radikalisme. Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat potensial dalam membentuk karakter anak. Jika di masa ini anak justru mendapat pengajaran tentang kekerasan, maka di masa mendatang mereka akan menjadi pelaku kekerasan.

Kekerasan langsung maupun tidak langsung, baik itu fisik maupun psikis akan berdampak secara signigikan terhadap perkembangan karakter anak. Memang, jika dilihat secara kasat mata kekerasan fisik akan memiliki dampak trauma langsung dibandingkan kekerasan psikis yang dampaknya tidak langsung terlihat. Karenanya, tidak mudah Untuk mengetahui tanda-tanda kekerasan yang tidak langsung ini. Meskipun demikian, seorang anak bisa dikatakan mengalami kekerasan apabila kemarahan, hinaan maupun ancaman yang dialami anak terjadi secara terus menerus.

Ketidakmatangan Mekanisme Pertahanan Penyebab Masuknya Paham Radikal
Segala bentuk kekerasan yang dialami anak secara terus menerus pada akhirnya akan memberikan gangguan terhadap perkembangan psikologis sang anak. Mereka menjadi mudah tersinggung, mudah marah, depresi dan cenderung pasif. Banyak penelitian yang menunjukkan fakta bahwa anak yang memiliki gangguan ini sering berperilaku merajuk atau bersikap tidak peduli.

Gangguan tersebut jika dibiarkan akan berkembang dan menjadikan anak tidak lagi mampu mengendalikan dirinya. Marah-marah, berteriak, membentak, atau bahkan menyerang secara fisik. Hal itu dilakukan anak sebagai bentuk ketidakberdayaan anak terhadap dorongan berperilaku yang muncul. Mereka tidak dapat membedakan mana perhatian dan kasih sayang dari orang sekitarnya atas apa yang mereka lakukan, apakah itu baik atau salah.

Para orangtua ataupun guru yang melakukan tindak kekerasan kepada anak sangat mungkin dulunya juga pernah menjadi korban kekerasan sehingga mengalami apa yang disebut dengan sindrom ketidakmatangan mekanisme pertahanan. Ketidakmatangan ini mengakibatkan mereka menganggap bahwa segala hal terjadi karena kesalahan orang lain dan menganggap bahwa kekerasan adaah hal yang lumrah.

Individu-individu yang berkembang dengan ketidakmatangan mekanisme pertahanan inilah yang akan semakin mudah terinfeksi paham-paham radikal. Peliknya, ketidaknormalan psikologis ini tidak terlihat dan tidak disadari oleh lingkungan sekitarnya. Individu tersebut bisa saja terlihat baik dan santun meski seringnya mereka tertutup dan pendiam.

Kelabilan psikologis ini kemudian dimanfaatkan kelompok radikal dengan mencekoki mereka bahwa ada kebahagiaan abadi ketika mereka bersedia menjadi pengantin bom. Narasi surga terbentang dengan 72 bidadari, kemudian bagaimana kematian tidak menyakitkan hanya seperti sebuah cubitan, mereka internalisasikan kepada individu yang “labil” tersebut. Internalisasi doktrin tersebut akan sangat mudah dilakukan mengingat kondisi anak yang labil secara psikologis tadi.

Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa selalu ada latar belakang dari sebuah peristiwa. Pelaku teror bom itu tidak terbentuk secara tiba-tiba. Salah satu hal yang melatarbelakangi adalah kondisi psikologis yang menyimpang dari seorang anak dan itu merupakan akibat dari perlakuan kekerasan yang dialami anak secara terus menerus. Pada akhirnya mereka tumbuh menjadi individu yang tidak memiliki kematangan mekanisme pertahanan yang baik, dan sasaran empuk kelompok radikal dalam mengembangkan gerakannya yang menyasar anak muda.

TERBARU

Konten Terkait