Tersebar sebuah tulisan yang menyebut bahwa Malahayati menjadi sosok perempuan tangguh berkat didikan khilafah. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa rekam jejak Malahayati, yang dijuluki sebagai admiral wanita, mengalami banyak sekali gejolak dan perjalanan panjang. Semasa hidupnya sebagai perempuan, yang pada masa itu, ia tidak banyak memiliki akses agar bisa berkiprah di publik.
Dengan julukannya sebagai Laksamana Malahayati, ia adalah wanita hebat pada masa kesultanan Aceh. Dibalik Malahayati, terdapat sosok ayah yang bernama Laksamana Mahmud Syah, di mana pada masa itu adalah Armada Kesultanan Aceh. Pendidikan militernya ditempuh dengan mengikuti pendidikan militer di Ma’hal Baitul Maqdis.
Dalam menjalani kehidupannya, ia mengalami fase sulit ketika mengetahui bahwa ayahnya, Laksanama Mahmud Syah gugur dalam medan perang. Hal ini terjadi pada tahun 1575, ketika armada perang kerjaaan Aceh sedang menyusun strategi perang yang dikomando oleh Laksamana Mahmud Syah dan armada Banten yang dipimpin oleh Pangeran Arya Bin Maulana Hasan. Keduanya membangun kekuatan untuk melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka. Dalam pertempuran tersebut, Laksamana Mahmud Syah gugur untuk selama-lamanya.
Kematian ayahnya yang gugur di medan perang membuat Malahayati terpukul. Ia mengalami fase putus asa karena sebagai perempuan, tidak memiliki ruang untuk melakukan perlawanan dari pertempuran yang terjadi. Rasa resah semacam itu selalu diutarakan kepada gurunya, Tengku Ismail Indrapuri. Pada masa inilah, sang guru sering memberikan nasihat agar muridnya itu, tidak selalu berada dalam kegalauan. Salah satu nasihatnya sebagai berikut:
“Malahayati, di hadapan Allah, manusia laki-laki dan perempuan itu sama saja karena keduanya memikul kedua amanah-Nya di bumi ini,” ucap gurunya.
Nasihat ini yang kemudian mengantarkan Malahayati pada keputusan untuk mengambil peran utama. Terutama dalam upaya melakukan perlawanan kepada penjajah. Disinilah kita memahami bahwa, pemahaman tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, dimiliki oleh Malahayati menjadi pijakan dasar dari keberaniannya melawan penjajah.
Mengambil Alih Pertempuran atas Kekalahan Suami
Malahayati bertemu suaminya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, saat ia mengenyam pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Namun, suami Malahayati gugur saat bertempur melawan pasukan Portugis. Peristiwa memilukan tersebut kemudian dijadikan oleh Malahayati sebagai ruang untuk melakukan perlawanan bagi perempuan.
Ia membentuk Armada Inong Balee yang memiliki kekuatan 1000 orang janda, istri para prajurit yang gugur di Teluk Haru. Kekuatan tempur Inong Balee ini semakin besar. Anggotanya tidak hanya berasal dari kalangan janda akan tetapi kalangan gadis pemberani. Sehingga pada masa itu, Inong Balee menjadi kekuatan tempur elite perempuan angkatan laut Aceh Darussalam.
Pada tahun 1599 M, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman memimpin armada dagang Belanda. Mereka berlabuh di Banda Aceh dengan memiliki persenjataan layaknya kapal perang. Semula ia mendapatkan perlakuan yang layak karena niat dan tujuannnya sangat baik. Akan tetapi, ketika mengetahui bahwa mereka melakukan manipulasi dagang, mengacau dan menghasut. Disinilah Inong Balee melakukan perlawanan kepada armada tersebut.
Pertempuran yang terjadi di luar dugaan, Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Malahayati sendiri. Sementara Frederijk de houtman ditawan. Disinilah kekuatan Inong Balee menjadi salah satu kekuatan laut elite perempuan Aceh yang patut dibanggakan di bawah kepemimpinan Malahayati. Keberaniannya memimpin pasukan untuk melawan pertempuran di medan perang, berkat hasil pendidikan militer yang sudah ia ikuti. Berdasarkan pendidikan yang sudah ditempuh, ia terampil di medan pertempuran dengan kekuatan pasukan yang dibawanya.
Dari sini dapat kita pahami bahwa, Laksamana Malahayati adalah sosok perempuan hebat dengan karakter dan jiwa Islam yang melekat dalam dirinya. Akan tetapi, terdapat beberapa ajaran yang mengindikasi jika Malayati menganut ajaran khilafah. Saya kira perlu melihat konteks kekhilafahan seperti apa yang dimaksud. Sebab cocokologi semacam itu akan menjadi framing bahwa, perempuan akan tampil sebagai perempuan hebat.
Padahal, kehebatan tersebut bisa dimiliki dengan belajar, didikan serta pengalaman hidupnya. Karakter dan jiwa Islam yang melekat dalam diri Malahayati adalah satu kesatuan dari terciptanya perempuan hebat itu. Perempuan masa kini bisa menjadi sosok Malahayati tanpa disangkutpautkan dengan didikan khilafah. Sebab bukan bukan khilafah muara dari perjuangannya, akan tetapi akses dan ruang bagi perempuan untuk belajar dan menekuni bidang yang diinginkan sesuai kebutuhan zaman. Wallahu a’lam