Pada musim panas tahun 2020, persidangan untuk Philip Manshaus, seorang pria berusia 22 tahun asal Norwegia yang telah mencoba melakukan serangan teror di sebuah masjid di Bærum, Norwegia. Pada peristiwa tersebut mengungkap fakta bahwa ia tidak hanya terpapar ideologi radikalisme dari internet, tetapi juga terinspirasi dari serangan teror di Selandia Baru. Selain menjadikan masjid sebagai target penyerangan. Bahkan, Manshaus tak segan membunuh saudara tiri perempuannya yang diadopsi dari Tiongkok hanya beberapa waktu sebelum mencoba menyerang masjid.
Berdasarkan penyelidikan, Manshaus adalah pemirsa setia Red Ice TV, sebuah saluran media alternatif gerakan ekstremis kulit putih yang berbasis di Amerika Serikat dan Swedia. Pendiri Red Ice TV adalah pasangan suami istri, Lana Lokteff dan Henrik Palmgren. Selain menjadi audiens setia Red Ice, Manshaus juga terobsesi melakukan hal yang sama seperti Lana dan Henrik: Membangun gerakan ekstremis bersama pasangan.
Tak heran, ia sempat mengungkapkan bahwa ia ingin memiliki istri dari ras yang sama agar bisa diajak kerja sama dalam menumbuhkan supremasi kulit putih. Lana Lokteff, pendiri Red Ice TV yang merupakan role mode Manshaus dalam mencari istri adalah sosok penting dalam gerakan ekstremis di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam sebuah acara kelompok ekstremis di Swedia, ia dengan lantang menyerukan bahwa Perempuan harus “turun ke jalan” untuk menuntut hak-hak sipil kulit putih yang kini terus dirampas oleh kelompok lain.
Apa yang dilakukan oleh Lana, sejatinya mematahkan mitos bahwa perempuan selalu menjadi korban dalam gerakan ekstremisme. Nyatanya: tidak! Lana bukan hanya tunduk patuh mengikuti suaminya. Akan tetapi, ia secara sadar meyakini bahwa ia bisa menjadi penggerak dan pemimpin perempuan dalam gerakan nasionalis sayap kanan. Berdasarkan investigasi Eviane Leidig, peneliti gender dan terorisme yang berafiliasi dengan Universitas Oslo.
Ia menemukan bahwa perempuan memainkan beberapa peran dalam gerakan ekstremisme sayap kanan: mereka merupakan rekruter utama, pelaku propaganda, pengorganisir, dan pengumpul dana. Seperti yang ditulis oleh Seyward Darby, “Perempuan ada di tiap sudut gerakan nasionalis kulit putih. Bukan sekadar pajangan semata”. Saat ini, perempuan ekstremis sayap kanan terus memaksimalkan penggunaan situs media sosial untuk merekrut simpatisan baru dan membangun audiens bagi gerakan tersebut.
Namun, berbeda dengan darkweb dan forum pinggiran, kelompok perempuan penganut ideologi ekstremis ini lebih suka menyebarkan pesan mereka di platform-platform mainstream seperti YouTube, Instagram, dan Twitter. Cara mereka tersebut merupakan bagian dari tujuan strategis untuk menormalisasi propaganda nasionalis agar lebih diterima oleh masyarakat umum. Dari penelitian sementara, para perempuan dalam kelompok ekstremis sayap kanan memiliki pendekatan berbeda dengan kelompok laki-laki.
Hampir semua konten mereka bersifat lebih personal. Hal ini ditandai dengan bagaimana seringnya mereka membuat konten obrolan langsung yang kemudian dibumbui dengan interaksi bersama audiens. Cara mereka membuat konten pun terasa ‘dekat’ karena mereka menempatkan diri mereka bukan untuk mendoktrin, tapi berbagi cerita dan keresahan. Mereka beberapa kali memberikan kesempatan pendengarnya untuk berbagi keluhan yang kemudian mereka timpali dengan propaganda ekstremis.
‘Bungkus’ konten sejenis lah yang kemudian melenakan para pihak berwajib. Selain tidak menggunakan istilah-istilah ‘berat’. Cara pemimpin perempuan dalam gerakan ekstremis sangatlah efektif dan efisien. Meski tidak langsung bergerilya, mereka dengan mudahnya memprovokasi dan mengajak orang awam untuk mendukung gerakan supremasi kulit putih yang mereka usung.
Strategi yang mereka gunakan bahkan tidak saja efektif untuk merekrut sesama perempuan saja, tetapi juga laki-laki. Banyak dari audiens pengikut konten setia para perempuan ekstremis ini adalah laki-laki paroh baya yang menyetujui ide-ide radikal sayap kanan. Mereka melihat konten yang dibawakan oleh perempuan lebih santai dan tidak menggurui.
Melihat dinamika yang berkembang dalam gerakan ekstremis tadi, penting bagi kita semua untuk memahami dampak dari perempuan-perempuan ini. Serta bagaimana mereka kemudian membentuk narasi dominan dalam ekstremisme. Sebab pemahaman komprehensif mengenai kampanye mereka akan sangat berguna untuk mengembangkan intervensi Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan dan Ekstremisme Berbasis Agama (P/CVE) yang efektif.
Terlebih langkah pencegahan yang ada seringkali mengabaikan pentingnya dinamika gender dalam membentuk pandangan individu. Di saat yang sama, pelibatan perempuan untuk melakukan konter narasi juga dirasa semakin penting. Perspektif perempuan dipandang bisa lebih beradu ketika disandingkan dengan sudut pandang yang berlawanan dari kelompok sama. Sehingga sebelum perempuan dari kelompok ektremis kian giat melakukan propaganda, kelompok moderat harus dapat melangkah lebih jauh satu langkah di depan.