27.4 C
Jakarta
Senin, 14 Oktober 2024

Agama, Fundamentisme dan Ekstremisme

Fenomena fundamentalisme yang merujuk pada pandangan atau pendekatan rigid terhadap interpretasi agama ternyata bukan menjadi tren spesifik di kalangan umat Muslim saja. Dalam sejumlah kasus, ternyata fundamentalisme yang meyakini bahwa ajaran-ajaran agama adalah panduan mutlak. Serta tidak boleh dikompromikan atau diberi penafsiran yang lebih liberal/kontekstual merupakan fenomena yang terjadi di kalangan umat agama pada umumnya.

Lalu, mengapa dan bagaimana fundamentalisme bisa mendorong tindakan ekstremisme? Melihat akar dasarnya, pemikiran fundamentalis seringkali melakukan penolakan terhadap perubahan sosial atau budaya, serta resisten terhadap pengaruh dari luar yang dianggap merusak nilai-nilai atau identitas kelompok mereka. Mereka cenderung mempertahankan nilai-nilai tradisional dengan kuat dan berusaha untuk kembali ke fondasi dasar kepercayaan mereka.

Ketika mereka meyakini bahwa ajaran atau prinsip-prinsip fundamental dari agama atau ideologi mereka adalah kebenaran yang tidak bisa dikompromikan. Akibatnya, mereka percaya bahwa tindakan ekstrem termasuk melakukan kekerasan dan melukai orang lain adalah kewajiban suci. Terutama, untuk mempertahankan atau menyebarkan keyakinan tersebut.

Selain itu, orang yang menganut pemikiran fundamentalis kerap kali menolak toleransi terhadap pandangan atau agama lain. Sebab, mereka menganggap pandangan yang berbeda sebagai ancaman bagi kebenaran mereka. Penolakan terhadap pluralisme dan ketidaksetujuan terhadap perbedaan pandangan. Di mana hal tersebut dapat mendorong mereka untuk mengambil tindakan ekstrem sebagai cara untuk menegakkan keyakinan mereka.

Persepsi ancaman terhadap nilai-nilai dan identitas kelompok juga merupakan faktor lain yang mendorong tindakan ekstremisme. Penganut fundamentalisme cenderung melihat perubahan sosial, budaya, atau politik sebagai ancaman yang harus ditentang dengan tindakan ekstrem. Hal ini kemudian berujuang pada isolasi sosial dari masyarakat yang lebih luas.

Sayangnya, ketika isolasi terjadi, publik cenderung menganggap bahwa situasinya lebih terkendali. Justru, ini salah kaprah. Ketika kelompok fundamentalis dikucilkan, yang terjadi malah mereka semakin memiliki sentiment kuat bahwa kelompok fundamentalis. Apa yang menjadi keyakinan mereka, karenanya dapat mendorong mereka untuk mencari dukungan dan pengakuan melalui tindakan ekstrem.

Di saat yang sama, ketika mereka terpojok, mereka memanfaatkan keyakinan ekstrem mereka untuk merekrut anggota baru. Mereka menggunakan propaganda dan retorika yang menggugah emosi. Hal tersebut bertujuan untuk mempengaruhi penganut fundamentalisme baru agar terlibat dalam tindakan kekerasan.

Meskipun fundamentalisme dapat mendorong tindakan ekstremisme, penting untuk diingat bahwa tidak semua penganut fundamentalisme terlibat dalam tindakan kekerasan. Banyak orang yang mempraktikkan keyakinan mereka dengan damai dan menghormati hak-hak dan pandangan orang lain. Namun, beberapa individu atau kelompok yang dikuatkan oleh pandangan fundamentalis yang keras dapat cenderung mengadopsi tindakan ekstrem. Hal tersebut digunakan untuk mencapai tujuan mereka atau melampiaskan kepercayaan mereka yang kuat.

Riset dari Kamenowski dkk (2021) menunjukkan bahwa fundamentalisme agama dan sikap ekstremis amatlah kompleks. Berdasarkan analisis mereka terhadap generasi muda terkait sikap fundamentalisme dan tindak kekerasan, memang keyakinan yang rigid dapat mendorong tindak ekstremisme. Namun, faktor pengaruh yang paling besar dipengaruhi oleh kontrol diri dan lingkaran sosial.

Dari penelitian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa mendalami lebih lanjut mengenai hubungan antara fundamentalisme agama dan ekstremisme dalam konteks yang lebih luas, amatlah diperlukan. Jika penelitian dengan tema tersebut berlanjut, penggalian dalam menelisik peran kontrol diri dalam membentuk sikap-sikap ekstremis. Serta, memahami bagaimana lingkungan social. Begitu juga dengan kelompok pertemanan dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku individu terkait ekstremisme, harus dilakukan dengan skala studi yang cukup besar.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah mengukur faktor-faktor psikologis lainnya yang dapat memainkan peran dalam proses radikalisasi. Selain penelitian mendalam, perlu dilakukan juga upaya mengembangkan intervensi yang efektif dalam mencegah dan mengatasi ekstremisme. Upaya pencegahan ke depan seharusnya lebih fokus pada pengembangan keterampilan pengendalian diri dan pengelolaan emosi pada generasi muda.

Pendidikan yang mempromosikan pemahaman tentang beragam pandangan dan menghargai keragaman budaya. Serta agama juga harus ditekankan untuk meminimalkan sikap radikal dan intoleransi. Selain itu, melibatkan keluarga, lembaga pendidikan, dan komunitas dalam upaya pencegahan juga penting. Lingkungan sosial yang mendukung, inklusif, dan membantu memfasilitasi dialog yang konstruktif tentang perbedaan adalah kunci untuk membangun pemahaman dan saling menghargai di antara generasi muda.

Dalam menghadapi tantangan ekstremisme, penelitian yang lebih komprehensif dan intervensi yang efektif perlu menjadi bagian dari strategi yang holistik. Dengan begitu, masyarakat dapat bekerja sama untuk mencegah radikalisasi. Dan, mempromosikan perdamaian serta harmoni di tengah keberagaman yang semakin kompleks dalam masyarakat global saat ini.

TERBARU

Konten Terkait