Kemenag melalui satuan pendidikan dibawahnya gempar mengkampanyekan moderasi beragama. Moderasi beragama mengutamakan sikap toleran dalam keberagaman. Menurut Darlis poin penting yang ingin disampaikan dalam pesan moderasi adalah tentang keterbukaan dalam menerima keberagaman (inklusivisme).
Keberagaman dalam penentuan mazhab, perbedaan dalam meyakini tafsir tertentu, dan keberagaman lainnya tidak harus menghalangi seseorang untuk menjalin relasi baik atas dasar kemanusiaan. Jika relasi antar manusia didasarkan pada nilai kemanuisaan, maka semua perbedaan akan dihadapi dengan kepala dingin dan jauh dari sikap diskriminatif. Namun sayangnya, masyarakat Indonesia masih menggunakan standar ganda dalam menerapkan sikap moderat.
Di satu sisi menyuarakan sikap untuk berada di tengah. Namun, di sisi lain juga melakukan stigmatisasi dan penggolongan kepada suatu kelompok berdasarkan preferensi busananya. Kenyataan bahwa cadar sebagai salah satu bentuk ekspresi keagamaan acapkali diabaikan. Secara ideologi, keberadaanya belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme dan dekat dengan gerakan radikal.
Dari segi sosial, keberadaannya juga ditolak, sebagaimana yang dialami salah satu mahasiswa saya. Sebelumnya dia menutup wajah mungilnya dengan selembar niqob. Tak ada yang berbeda dengan mahasiswa lainnya, ia tetap aktif berpendapat dan termasuk mahasiswi yang kritis. Suatu ketika, dia tidak mengenakan niqob lagi, namun menggunakan masker sebagai pengganti niqob.
Di akhir perkuliahan, saya panggil dia secara personal dan menanyakan kenapa ia mengganti niqob dengan masker. Jawabannya cukup mengejutkan, ia mengaku mendapatkan sindirian dan perlakuan yang diskriminatif baik dari dosen maupun temannya akibat preferensi busananya. Cadar perempuan acapkali dikaitkan dengan eksklusifisme.
Hal ini terjadi lantaran publik terlanjur mempersepsikan perempuan bercadar tidak menyukai hingar-bingar, tertutup, dan paham keagamaannya ekslusif. Atas dasar stigma tersebut, maka preferensi busana perempuan bercadar seringkali dikaitkan dengan kelompok ekstrimis. Sehingga terus mendapatkan perlawanan dan stigmatisasi.
Menjadi Moderat, Apa Ukurannya?
Muhammad Husein Abdullah berpendapat bahwa mayoritas masyarakat tidak memahami bahwa perbedaan pendapat (khilafiyah). Di kalangan madzhab-madzhab, perbedaan tersebut menjadi sesuatu yang alamiah dan sehat. Serta bukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana sangkaan sebagian pihak.
Sebab kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat sesungguhnya telah terjadi bahkan semenjak zaman Rasulullah SAW melalui taqrir-nya. Maka penting untuk bersikap moderat.
Moderat dalam kajian keislaman dimaknai sebagai wasathiyyah. Narasi ini muncul sebagai kritik atas kontenstasi pemikiran new Khawarij yang dianggap kaku, dan pemikiran new muktazilah yang dianggap liberal dan memiliki fleksibilitas yang melampaui batas dalam beragama. Benturan dua pemikiran ekstrim kanan dan kiri dinilai berdampak negative bagi perkembangan Islam.
Maka ulama di abad pertengahan seperti Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh, Hasan Al-Banna, Abu Zahrah, Mahmud Syalthout, Syekh Muhammad Al-Madani, dan beberapa mujtahid lainnya gencar mengkampanyekan pentingnya berada di tengah-tengah pemikiran ekstrim kanan dan kiri tersebut. Namun sayangnya, tidak ada ukuran yang bisa dijadikan standar untuk mengukur kemoderatan seseorang. Letak tengah tidak memiliki standar darimana tengah tersebut dilihat.
Jika dari kiri maka titik tengah akan dengan dengan kanan, jika dilihat dari kanan maka titip tengah dekat dengan kiri. Nyai Nur Rofiah menyatakan bahwa definisi wasatiyyah sebagai posisi yang ideal ini masih ambigu. Tak ada pihak yang memiliki otoritas untuk memastikan bahwa seseorang telah moderat. Justru seseorang bisa saja terjangkiti virus si “paling” moderat sehingga mudah menghakimi seseorang sebagai golongan non moderat hanya karena perbedaan pendapat dalam furuiyyah agama.
Tauhidullah Sebagai Titik Tengah (Wasathiyyah)
Konsep moderasi beragama terus bergerak untuk menemukan konsep dan posisi terbaiknya. Maka yang perlu disepakati adalah tentang apa yang harus ada di titik tengah tersebut. Merujuk pada tauhid sebagai visi Islam, maka titik tengah dalam konsep moderasi beragama adalah nilai humanity (kemanusiaan). Ketauhidan tersebut harus dibuktikan dengan kemaslahatan.
Dimana kemaslahatan akan bisa diciptakan jika seseorang memiliki ketertundukan mutlak hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk. Maka ukuran kemoderatan seseorang dalam berfikir dan bersikap seyogyanya tidak diukur dengan hal-hal yang bersifat lahiriyah. Karena penilaian lahiriyah dekat dengan stigmatisasi dan truth claim yang bertentangan dengan visi Islam sebagai agama rahmatan lilalamin. Jangan sampai kita mengkritik dogma yang kaku dengan cara yang kaku serta mengatasi penyakit dengan penyakit.
Dengan menjadikan tauhid dan nilai kemanusiaan sebagai titik tengah. Maka, sikap dan ideologi seseorang diukur dengan sejauh mana kemaslahatan yang diciptakan. Kemanusiaan adalah ruh dari agama, keduanya adalah dua entitas yang terus beriringan dan tak terpisahkan. Kasih sayang antar manusia adalah bentuk rasa sayang makhluk pada Tuhan.
Dengan meletakkan tauhid sebagai ukuran, bisa memperkuat narasi wasathiyyah sebagai sebuah ideologi. Bahwa intinya inti dari agama adalah kesadaran bahwa manusia hamba allah. Apapun pilihan yang ditetapkan seseorang, sejatinya sesama siswa tidak elok mengisi rapor siswa lainnya. Hanya Tuhanlah satu-satunya entitas yang mengukur sejauh mana ketauhidan dan keimanan seseorang.