Secara resmi, pemerintah menetapkan tanggal 23 Juli sebagai peringatan Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan hari anak sebagai momentum nasional ini bertujuan untuk mengingat seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan perhatian hak anak. Terutama, sesuai dengan visi Indonesia mmewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah dan peduli anak.
Namun sayangnya, permasalahan berkaitan dengan anak semakin kompleks dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah banyaknya anak yang terjerumus dalam kelompok terorisme. Berdasarkan laporan United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) dengan judul Handbook on Children Recruited and Exploited by Terrorist and Violent Eztremist Group: The Role of the Justice System diketahui beberapa teknik yang diterapkan kelompok ekstrimis untuk menarik perhatian anak-anak.
Tak lagi menggunakan cara-cara konvensional, kelompok terorisme menggunakan pendekatan yang inovatif dan halus. Terutama dalam menentukan siapa yang akan menjadi target sasarannya. Setiap target juga memiliki cara yang berbeda tergantung dengan bagaimana kondisi target (anak) dan juga kendala yang mungkin dihadapi saat mendoktrin anak anak.
Meskipun terlihat seperti sukarela, namun keterlibatan anak tersebut pasti didahului oleh paksaan dan iming-iming. Jika pun pada akhirnya kombatan anak dengan sukarela bergabung maka tentu ada banyak faktor yang melatarbelakaninya. Seperti kondisi ekonomi, pertahanan hidup, marginalisasi, diksriminasi, dan garis kemiskinan.
Alasan Pelibatan Anak dalam Gerakan Ekstrimisme
Salah satu alasan dilibatkannya anak dalam kelompok eksterimis adalah karena biaya operasional yang lebih murah. Dibanding dengan kombatan dewasa, biaya kombatan anak tentunya lebih murah. Baik dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan, maupun kebutuhan hidupnya. Karena anak tidak menanggung kehidupan anggota keluarga yang lain. Kelompok teroris hanya perlu memenuhi kebutuhan kombatan saja.
Begitupula dengan kebutuhan pembelian senjatanya, harga senjata yang berukuran besar tentu berbeda dengan ukuran kecil. Untuk kombatan anak, yang mereka butuhkan adalah senjata kecil dengan harga yang lebih murah. Dengan harga yang lebih rendah, kelompok teroris bisa mendapat output yang kurang lebih sama dengan senjata besar yang harganya lebih mahal.
Selain itu, anak juga lebih mudah diintervensi. Anak-anak lebih mudah didoktrin untuk fanatik terhadap suatu hal. Wawasan anak-anak masih terbatas, dan ledakan emosional yang ada dalam dirinya bisa dikendalikan untuk memihak pada ideologi radikal. Jika ideologi sudah tertanam maka dimanfaatkan untuk pembibitan teroris. Intervensi juga dilakukan dengan menfigurkan salah seorang teroris yang merelakan nyawanya atas dasar jihad. Karakter anak yang cenderung lebih cepat menunjukkan kesetiaan pada figur tertentu, sangat menguntungkan kelompok teroris.
Gerakan kelompok ekstrimis yang dilakukan oleh anak juga jarang dicurigai dan efektif untuk dijadikan mata-mata. Sebelum melakukan operasi pengeboman ataupun menjalankan aksi radikal, kelompok teroris akan mengutus mata-mata untuk melihat bagaimana kondisi wilayah yang menjadi target operandi.
Maka kombatan anak-anak apalagi perempuan, bisa dimanfaatkan untuk dikirim menjadi mata-mata. Mereka jarang dicurigai, dan disatu sisi anak-anak tidak begitu memahami resiko yang dihadapi ketika menjadi mata-mata. Usianya yang labil menjadikan anak-anak sebagai sosok yang patuh terhadap intruksi. Apapun tugas yang diberikan oleh atasan, akan dilakukan meskipun tugas tersebut membahayakan nyawanya.
Bersama-sama Lawan Keterlibatan Anak dalam Gerakan Ekstrimisme
Keadaan anak yang labil, kemiskinan, keputusasaan, dan murahnya bisa operasional kombatan anak menjadi peluang bagi kelompok teroris untuk masuk ke dunia anak-anak. Hal tersebut tentunya menjadi tugas kita semua untuk lebih hati-hati dan waspada dalam menghadapi pergerakan kelompok teroris yang sudah menyusup ke dunia anak.
Pengawasaan orang tua terhadap segala aktifitas dan kegiatan anak sangat penting. Termasuk didalamnya juga tentang pemilihan sekolah bagi anak. Karena Keluasan jaringan terorisme juga masuk ke wilayah pendidikan formal. Meskipun tidak secara langsung mendukung jaringan terorisme, namun sekolah tersebut berperan untuk memberikan doktrinasi kepada anak mengenai jihad. Jika pemahaman mengenai jihad dalam bentuk ekstrimisme sudah tertanam di benak siswa, akan lebih mudah bagi jaringan terorisme untuk merekrut anak-anak tersebut.
Sistem perekrutan terhadap anak ini bertebaran di sekeliling kita. Maka diperlukan kesadaran dan kepedulian bersama untuk turut serta memastikan tidak ada doktrinasi pemahaman radikal di sekeliling kita, dan anak-anak belajar serta bermain di ruang yang aman dan bebas doktrinasi pemahaman ekstrimis.