Jakarta – Yayasan Empatiku bersama Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) gelar seminar nasional Analisa Kebijakan Penanganan Terorisme Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Warga Sipil di Indonesia, Senin (17 Juli 2023). Sebelumnya, Yayasan Empatiku telah membuat analisis kebijakan yang berangkat dari keprihatinan dari penanganan terorisme telah melindungi HAM. Menurut Direktur Yayasan Empatiku, Mira Kusumarini, Indonesia telah memiliki sejumlah aturan yang mencakup pada aspek penegakan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi, serta pencegahan.
”Setelah melakukan pemetaan kebijakan, Indonesia telah memiliki banyak perangkat kebijakan HAM, penanganan terorisme dan kebijakan lainnya terkait perempuan, anak dan korban lainnya. Kita sudah memiliki rujukan kebijakan hingga teknis operasional,” ungkapnya dalam agenda tersebut.
Temuan dalam pelaksanaan, menurutnya, terdapat serangkai yang perlu diperbaiki. Di antaranya, Untuk kelompok tersangka, masih terjadi serangkaian kekerasan pada saat penyidikan, lamanya proses penahanan, sulitnya mengakses bantuan hukum atas pilihan sendiri. Di sisi lain, terdapat sejumlah tantangan dari penegak hukum. Mulai dari persamaan pemahamanan dan perspektif dari aparat penegak hukumt terkait pelaku atau korban yang memungkinkan terjadinya salah tangkap.
Terhadap terpidana, pada penerapan satu orang satu sel tahanan. Dalam penerapan kebijakan tersebut, berpotensi terjadinya pelanggaran jika penerkan hal tersebut. Selanjutnya, selum masuknya penanganan korban salah satunya di Poso. ”Dalam pemetaan, perlindungan untuk pendamping dan pembela HAM. Kelompok ini menjadi kelompok yang sangat membantu dalam proses penanganan,” ungkapnya.
Dari temuan yang telah ditemukan, dirinya mengajukan rekomendasi kepada pemerintah. Terdapat enam hal yang direkomendasikan oleh dirinya. Pertama, terkait perlindungan HAM bagi tersangka, terdakwa hingga terduga terorisme. Pihaknya, memohon kepada lembaga kepolisian untuk bisa meningkatkan keterampilan pendidikan dan penyelidikan kasus tindak pidana terorisme yang memastikan perlindungan HAM Warga Sipil, terutama saat menggali dua bukti yang sah.
Kemudian, rekomendasi kepada Direktorat Jenderal Kemasyarakatan, untuk mengembangkan panduan penanganan dan pembimbing anak binaan tindak terorisme. Karena hingga saat ini, belum ada panduan anak yang berhadapan kasus terorisme. Selanjutnya, perlindungan HAM kepada orang-orang yang melaporkan kasus terorisme. ”Dalam upaya pencegahan ini, diharapkan berbasis Komunitas. Untuk masyarakat sipil, perlu adanya kerjasama antara organisasi masyarakat sipil dan badan negara untuk bisa saling berbagi informasi,” ungkapnya.
Di tempat yang sama, Deputi Bidang Kerjasama Internasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Andhika Chrisnayudhanto, dilihat dari hasil penelitian tersebut sangat bagus. Dilihat dari sisi perlindungan HAM warga sipil, pihaknya mengapresiasi akan hasil tersebut. ”Saat ini, terorisme masuk ke dalam kejahatan serius. Hal tersebut merujuk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Setelah ada ISIS, terutama di wilayah konflik menggunakan perangkat HAM. Mulai dari kejahatan kemanusiaan, genosida dan lainnya,” ungkapnya.
Pendekatan yang dilakukan di Indonesia, sedikit berbeda Indonesia. Terorisme terjadi pada saat keadaaan damai. Berbeda di Syiriah dan Filiphina yang terjadi konflik. Dalam pendekatan hukumnya, harus melakukan pendekatan HAM. Legislasi di Indonesia, sangat konprehensif. Pada saat penahanan, menjadi tersangka, hingga pencegahan. Untuk pencegahan, pemerintah harus mengedepankan unsur HAM dan kehati-hatian. Salah satu isu yang mencuat adalah deradikalisasi. Untuk pelaksanaan deradikalisasi dilaksanakan secara volunteri.
Dirinya menanggap salah masukan terkait posisi advokat. Salah satunya masukan adalah belum adanya perlindungan untuk advokat. Akan tetapi, advokasi sudah masuk dalam keseluruhan peradilan. Pada saat ini, advokasi menjalaninya fungsinya untuk membela pelaku. Hal ini menjadi pertimbangan untuk advokat yang sedang menangani kasus terorisme. ”Untuk perlindungan anak bagi anak yang berhadapan kasus terorisme. Saat ini, Indonesia telah mengadopsi konvensi hak anak, sehingga dalam penanganan kasus terorisme sudah merujuk pada konvensi hak anak,” pungkasnya.