29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Kompleksitas Dinamika Radikalisme di Tunisia

Di Tunisia, radikalisme masih menjadi problem yang tak kunjung usai. Data terakhir dari Kementerian Perempuan dan Anak menunjukkan bahwa ada sekitar tujuh ribuan warga negara Tunisia yang telah bergabung dengan kelompok radikal di Suriah, Irak, dan Libya. Data tersebut diambil sejak tahun 2011, lalu. Bahkan, dari data yang dihimpun tujuh ratusan di antaranya merupakan perempuan dan anak.

Kelompok perempuan dan anak sendiri bukan merupakan kelompok pasif. Mereka menjalankan peran yang cukup penting. Beberapa diantaranya malah menjadi tim utama perekrut gerakan terorisme global. Berdasarkan penyelidikan sementara, selain menjalankan kaderisasi lanjutan, perempuan juga terlibat dalam manajemen keuangan dan administrasi. Dan, yang cukup mengejutkan, tidak semuanya dijalankan dari negara konflik.

Beberapa perempuan bahkan menjalankan tugas tersebut di Tunisia dengan laptop dan perangkat teknologi yang canggih. Pada 2018 lalu, otoritas Tunisia sempat menangkap perempuan komplotan teroris yang menjalankan propaganda radikalisme dari rumah melalui perangkat elektroniknya. Perempuan yang ditangkap di Kota Tozeur itu tidak sekadar menjalankan kampanye lewat media sosial semata, tapi juga aktif merancang konten bersama dengan anggota teroris yang tersebar di negara lain.

Fenomena radikalisme yang dinamis ini tentu menghentakkan otoritas hukum dan pemerintah Tunisia. Selain harus berjibaku dengan potensi radikalisme global, mereka juga harus mewaspadai bibit-bibit terorisme di dalam negeri yang tak kalah berbahaya. Sebab, pola dan pelakunya kini kian beragam. Tak hanya merekrut laki-laki sebagai pelaku, perempuan muda dan mapan pun sekarang menjadi target perekrutan kelompok radikalisme.

Iming-iming label ‘kesalehan’ dan surga di depan mata sering menjadi pancingan agar mereka mau menyerahkan diri dan sumber daya mereka secara sukarela. Pada saat yang sama, lingkungan sosial mereka seringkali tidak menjadi tempat ideal untuk mengaktualisasikan diri. Banyak lowongan pekerjaaan di Tunisia yang masih menegasikan perempuan, terutama ketika mereka berusia di atas 30 tahun. Belum lagi tuntutan sempurna perempuan di sana, menjadikan perempuan cenderung lebih mudah mengalami depresi dibandingkan laki-laki.

Faktor lain yang berkontribusi adalah pengalaman kekerasan domestik. Kelompok perempuan dengan pengalam buruk kekerasan semasa kecil dan saat dewasa menjadi kelompok rentan yang mudah dimanipulasi oleh kelompok radikal. Mereka kesulitan menghadapi dinamika sosial sekitar yang mengakibatkan perangkap kelompok radikal mudah menjerat mereka. Gelombang tekanan ini lah yang membuat posisi perempuan kian lemah.

Terlebih, setelah Revolusi Tunisia pada tahun 2011, negara ini mengalami ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Hal ini memberikan celah bagi kelompok radikal untuk memperluas pengaruh mereka dan merekrut anggota baru. Selain itu, tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan pemuda. Bahkan, ketimpangan ekonomi yang signifikan juga memainkan peran dalam meningkatkan radikalisme di negara ini.

Tidak hanya itu, sistem pendidikan di Tunisia juga rentan terhadap pengaruh radikalisme. Tidak adanya regulasi ketat terkait pengaturan sistem pendidikan berbasis agama mengakibatkan beberapa lembaga pendidikan informal leluasa menyebarkan pemahaman radikal kepada siswa. Selain itu, internet dan media sosial memainkan peran penting dalam penyebaran ideologi radikal di Tunisia.

Situs web, forum, dan platform media sosial digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru. Wilayah-wilayah terpencil, terutama di perbatasan dengan Libya, sering digunakan sebagai tempat perlindungan dan basis operasi bagi kelompok-kelompok radikal. Kehadiran mereka di wilayah-wilayah ini sulit ditangkap oleh pemerintah, sehingga memperburuk situasi.

Untuk mengatasi masalah radikalisme di Tunisia, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama. Upaya yang dapat dilakukan termasuk memperkuat keamanan nasional dan kerjasama internasional dalam menghadapi ancaman terorisme. Peningkatan pendidikan yang inklusif dan moderat juga penting, dengan memeriksa kurikulum dan mengatasi pengaruh ekstremis di lembaga pendidikan.

Selain itu, semua pihak perlu saling bergandengan tangan untuk menciptakan peluang ekonomi bagi pemuda Tunisia. Saat ini, dimulai menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketimpangan ekonomi. Pemerintah juga harus memantau dan membatasi penggunaan media sosial yang digunakan untuk menyebarkan propaganda radikal.

Tanpa keterlibatan pihak yang berwajib, akan sangat sulit memberantas propaganda masif kelompok radikal yang dengan jeli menangkap peluang di tengah krisis untuk menebarkan ideologi mereka. Dengan kata lain, jika Tunisia ingin secara efektif dan efisien mengatasi problem radikalisme, perlu upaya kolektif dengan pendekatan lebih baik untuk mempromosikan stabilitas, keamanan, dan toleransi di negeri delima ini.

TERBARU

Konten Terkait