Adalah Kartini Panggabean, seorang perempuan yang berasal dari daerah Tebing tinggi, Sumatera utara yang pernah sangat radikal dalam beragama dan terlibat dalam aksi ekstrimisme kekerasan. Ideologi tersebut sudah merasukinya sejak SMP dan menjadi semakin dalam setelah dia menikah dengan suaminya yang seorang ideolog Negara Islam Indonesia (NI)I. Dari situlah kemudian Kartini juga menjadi ideolog yang mendoktrin banyak orang untuk bergabung dalam gerakan radikal tersebut.
Pada akhirnya Kartini terlibat dalam aksi ekstrimisme yang berujung pada penangkapan suaminya dan dirinya. Situasi tersebutlah yang kemudian menjadi titik balik kehidupan Kartini. Dia akhirnya menyadari bahwa dirinya dan suaminya telah melakukan kesalahan dan membuatnya tersadar bahwa dirinya harus berubah.
Perjalanan Kartini dalam memilih jalan damai dan mengabdikan diri kembali kepada negeri dikisahkan dalam sebuah Film berjudul “Boru Bawa Damai”. Film pendek berdurasi 20 menit ini diangkat dari riset tesis Erin Gayatri, peneliti dari Pusat Kemanan dan Perdamaian UGM. Dalam tesis ini Gayatri menyoroti tentang pengalaman eks napiter. Menurutnya, selama ini yang banyak mendapatkan perhatian adalah eks napiter laki-laki. Padahal sebenarnya pengalaman hidup dan kisah para istri eks napiter juga menarik untuk diteliti kaitanya dalam pelibatan perempuan dalam pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme kekerasan.
Film Boru Bawa Damai adalah hasil Kerjasama antara Srikandi Lintas Iman dan PSKP UGM. Karakter Kartini dalam Film adalah sosok nyata yang telah menjadi subjek penelitian Gayatri dan menjadi pemeran utama dalam film ini. Kata “Boru” dalam bahasa Batak berarti perempuan. Artinya, film ini ingin menyampaikan pesan bahwa perempuan dengan latar belakang apa pun bisa menjadi agen perdamaian, bahkan mereka yang pernah terjebak dalam Gerakan radikal sekali pun.
Film Sebagai Seni Pembawa Pesan dan Soft Power
Tidak berlebihan kiranya ketika pada tahun 1990an Ricciotto Canudo, seorang teoritikus seni dan penyair asal italia memasukkan film sebagai salah satu karya seni. Canudo bahkan menganggap film sebagai paket seni yang lengkap karena di dalamnya terdapat berbagai jenis seni lainnya mulai dari lukisan atau gambar, musik, arsitektur, nyanyian bahkan tarian.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari keindahan sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan orang lain. Dengan kata lain, seni berasal dari jiwa yang indah, menghasilkan keindahan,dan juga menggerakakan tindakan yang indah. Kira-kira ini juga terjadi pada film, di mana film bisa menjadi pembawa pesan yang menggerakkan hati orang-orang yang menontonnya.
Praktik mempengaruhi atau diplomasi yang dulunya menggunakan hard power sudah mulai bergeser posisinya menggunakan soft power yang mana lebih mempersuasi dibandingkan memaksakan kehendak. Kegiatan persuasi ini dapat berupa budaya, sistem politik, bahkan seni, termasuk dengan menggunakan film. Amerika contohnya, sebagai negara maju dia menggunakan instrument seni sebagai soft power untuk menggambarkan pencitraan baik tentang negaranya. Musik, acara reality show dan juga film digunakan untuk membangun citra identitas dan sistem nilainya kepada dunia. Sama seperti Jepang yang menggunakan soft power melalui manga dan anime.
Hal tersebut menunjukkan bahwa film bisa menjadi media yang strategis dalam menyampaikan pesan kebenaran dan kampanye moral value kepada masyarakat luas. Seperti Kisah Kartini tadi misalnya, bagaimana kemudian kisah kartini yang diangkat dari hasil riset akademik itu tidak hanya dinikmati oleh kalangan akademisi saja, tetapi juga bisa dinikmati oleh masyarakat awam secara luas. Menurut Gayatri sendiri, artikel ilmiah dan buku secara umum hanya diakses oleh para akademisi.
Padahal, yang sangat perlu mendapatkan kepentingan kampanye tentang pentingnya pencegahan terorisme melalui pelibatan perempuan adalah masyarakat awam. Mereka tentu tidak banyak mengakses sumber-sumber akademik. Maka Film, salah satunya juga berfungsi sebagai instrument diseminasi hasil riset akademik yang lebih bisa menyentuh audiens lebih luas.
Pesan yang ada dalam film seringkali juga bisa menjadi inspirasi atau jawaban dari kegelisahan seseorang. Banyak di luaran sana yang bergumul dengan isu terorisme dan ekstrimisme agama tetapi mungkin tidak banyak yang dapat keluar dari pengaruhnya. Film seperti “Boru Bawa Damai” dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat luas untuk terus bergerak Bersama mengcounter narasi-narasi yang radikal dan ekstrimis.
Orang tua yang menonton misalnya, menjadi sadar bahwa anak mereka berada dalam ancaman yang serius. Dengan begitu mereka menjadi sadar bahwa perannya sebagai orangtua sangat besar dalam mendidik dan mendampingi anak-anak agar tidak terjebak dalam gerakan ekstrimisme.
Antara Peluang dan Tantangan
Ibarat dua sisi mata uang, Film juga bisa berdampak positif dan negatif. Film bisa memberikan edukasi. Lewat film kita bisa menjelajahi berbagai tempat tanpa kemana-mana dan memahami nilai-nilai kebudayaan daerah lain. Lewat film kita juga bisa memahami perbedaan sehingga timbul rasa empati dan toleran. Bahkan, passion dan cita-cita seseorang bisa muncul melalui film.
Namun, daya pengaruhnya yang besar tersebut juga berpotensi mempengaruhi perilaku seseorang. Khususnya para remaja yang masih dalam proses transisi dan pencarian jati diri. Apalagi kelompok-kelompok yang menyebarkan ajaran agama ekstrim sekarang menggunakan media sosial dan menyampaikan pesannya melalui video-video pendek. Seperti yang dilakukan ISIS dengan membuat video cuplikan film Flames of War yang dikemas secara professional untuk menarik perhatian anak-anak muda.
Pada akhirnya, bersamaan dengan potensi dan peluang yang ada, kita dihadapkan pada tantangan yang menjadi pekerjaan rumah. Dibutuhkan sineas-sineas yang sadar akan pentingnya mengkampanyekan narasi-narasi damai melalui film sehingga kita juga memiliki kekuatan dalam melawan dan mengalahkan para kelompok ekstrimis menggunakan strategi yang sama melalui film.
Karenanya, diperlukan riset yang mendalam ketika akan memproduksi suatu film agar pesan moral yang ingin disampaikan bisa terdelivery kepada penonton dengan cara yang sangat soft. Harapannya, karya film yang baik dapat menjadi media yang ampuh dan memberikan impact yang besar dalam penanggulangan dan pencegahan ekstrimisme kekerasan.