Salah satu tokoh pra kemerdekaan yang berhasil menunjukkan komitmen kebangsaan yang akomodatif terhadap kebudayaan local adalah Syekh Hasan Besari. Putra Ponorogo yang sekaligus penerus pesantren Tegalsari ini telah menorehkan sejarah besar dalam melakukan perlawanan terhadap colonial. Pola pribumisasi dalam dakwah yang beliau terapkan telah menggugah kesadaran santri dan masyarakat agar bangkit melawan ketertindasan atas colonial.
Cara beragama yang luwes dan bermuatan lokalitas sepanjang tidak bertentangan dengan unsur maqashidu syariah, dianggap cocok dengan khas masyarakat Ponorogo. Sehingga lebih mudah untuk menggerakkan massa dalam melakukan perlawanan terhadap Kolonial. Meskipun saat itu beliau sendiri sebagai pimpinan pesantren Tegalsari tidak ikut angkat senjata saat peristiwa perang jawa.

Organisasi Transnasional yang Bermetamorfosis
Permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini adalah menjamurnya gerakan organisasi Islam trans nasional. Meskipun organisasinya sudah dilarang di Indonesia, namun ideologinya mengakar diberbagai lini. Dengan berbagai cara, organisasi trans nasional tersebut acapkali membenturkan antara paham keislaman dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penerapan kedaulatan rakyat didalam demokrasi yang sudah disepakati 76 tahun yang lalu, dianggap bertentangan dengan system Islam (nizam al-islam) (Aziz, 2016). Penerapan syariat islam dianggap sebagai sebuah kewajiban dan satu-satunya cara untuk menjadi dasar pengambilan hukum. (Arif, 2007) Penerapan hukum diluar syariat islam di Indonesia disebut sebagai jahiliyah modern. HTI menempatkan NKRI sebagai rival syariat Islam, sehingga harus merubah system pemerintahan dari demokrasi menjadi system khilafah.
Menerapkan prinsip nasionalis-religius ala Syekh Hasan Besari menjadi solusi yang bisa dilakukan untuk menghadapi organisasi transnasional. Beliau adalah tokoh yang sangat mumpuni kemampuan agamanya. Namun demikian, dalam menjalankan peraturan di wilayah pesantren Tegalsari beliau tidak menerapkan hukuman dan bentuk pemerintahan pesantren. Sebagaimana bentuk pemerintahan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW di tanah Arab.
Dengan tetap memperhatikan keadaan sosial dan budaya masyarakat, beliau menerapkan aturan yang sesuai dengan prinsip persatuan. Yakni, dengan menerapkan pokok-pokok nilai ajaran Islam. Proses yang dilakukan Syekh Hasan Besari selalu menekankan pada pentingnya penghargaan kaum santri terhadap tanah kelahiran, sejarah, dan warisan peradaban bangsa. Hal ini bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan tardisi yang diwariskan oleh leluhur. (Nurdianto, 2018) Adanya gerakan transnasional yang menabrakkan konsep relasi agama dan negara adalah bukti ketidakpahaman mereka terhadap sejarah Bangsa aitu sendiri.
Politik Devide at Impera dan lahirnya Sikap Primordial Akut
Secara de facto, bangsa kita sudah merdeka semenjak 76 tahun yang lalu. Tak ada lagi dominasi colonial dan otoriterisme kerajaan sebagaimana dihadapi Syekh Hasan Besari. Tak ada lagi tarikan pajak tanah atas tanah yang mencekik rakyat jelata, tak ada pula perang angkat senjata untuk mendapatkan kekuasaan atas lahan.
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia secara de jure telah diakui sebagai bangsa yang berdaulat dan bangsa mandiri. Namun demikian, bukan berarti perjuangan memperoleh keadilan, kesamaraatan, dan kesejahteraan juga berhenti bersamaan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pun mengakui Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol bangsa. Namun warisan Belanda dalam politik Devide et Impera masih melahirkan sikap primordial yang membedakan antara putra daerah, orang asing, ras, suku, dan agama.
Sehingga masih sering ditemukan diskriminasi berdasarkan perbedaan ras dan suku. Pada poin inilah sikap nasionalisme berdasarkan politik kesetaraan dan kemanusiaan Syekh Hasan Besari harus tertanam dalam jiwa kita. Betapa beliau yang lahir dari keturunan ningrat dan memiliki darah keturunan priyayi dengan penuh kerendahatian.
Serta memilih untuk membaur dan melakukan pemberdayaan ditengah rakyat yang terjerembab kemiskinan. Alih-alih mengambil kesempatan untuk bergabung dengan pemerintahan yang dapat memperkaya dirinya. Panggilan sosial untuk bergerak bersama menuju kesejahteraan justru menjadi jalan yang beliau pilih.
Menginternalisasi Sikap Ketokohan Syekh Hasan Besari di Masa Kini
Menurut Subakti (Subakti, 2012) pembelajaran sejarah ketokohan akan bermanfaat jika mampu menumbuhkan kemampuan pembaca dalam melakukan konstruksi masa lampau. Kontruksi masa lalu tersebut menjadi basik topik pembahasan sejarah serta mampu mengaitkan pada kondisi masa sekarang. Kemampuan tersebut akan terbentuk dimulai dari membaca, belajar, dan memahami sejarah melalui peran-peran tokoh dalam membangun satu perdaban besar di zamannya.
Pun demikian dengan artikel yang saat ini sampai didepan pembaca sekalian. Artikel ini akan memiliki dampak jika pembaca mampu mengimplementasikan nilai-nilai ketokohan Syekh Hasan Besari dalam konteks saat ini. Tentunya, untuk memecahkan berbagai permasalahan organisasi transnasional yang menjangkiti bangsa Indonesia.