Pada tahun 2020 lalu, survei ribuan pemuda Timur Tengah mengungkapkan bahwa mayoritas mereka tidak ingin bertahan di negara asalnya. Mereka menyampaikan bahwa negeri-negeri di Arab tidak lagi nyaman ditinggali. Serta tidak menawarkan banyak lowongan pekerjaan maupun tujuan studi yang ideal bagi mereka.
Opsi bagi kawula tadi jika memiliki uang cukup adalah pergi ke negara Eropa atau Amerika. Namun, berpindah negara dan mencoba petualangan baru tidaklah semudah yang dibayangkan. Bagi sebagian orang-orang di Eropa dan Amerika, budaya Arab identik dengan Islam dan hal-hal tradisional.
Padahal fakta di lapangan jauh lebih kompleks dari itu semua. Meski mayoritas pemuda Timur Tengah beragama Muslim, tapi Islam bukan satu-satunya agama yang dianut oleh anak muda di Timur Tengah. Bahkan dalam survey di tahun 2022 oleh Arab Barometer, banyak orang di Timur Tengah, terutama Iran justru tidak lagi memeluk Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama paksaan yang wajib mereka peluk agar tidak dihukum oleh otoritas.
Tidak hanya itu, pergulatan identitas bagi pemuda Arab di Timur Tengah sangatlah dinamis. Pemaksaan nilai-nilai agama oleh kalangan keluarga dan pemerintah, justru semakin membuat anak muda memilih untuk meninggalkan Islam. Agama membuat mereka menjadi trauma. Dan tinggal di lingkungan sekuler seperti negara Barat, bagi mereka menjadi pilihan utama karena menawarkan kebebasan dan individualisme.
Sayangnya ekspektasi anak muda dari Timur Tengah dan stigma yang berkembang mengenai mereka di negara barat amat jauh berbeda. Seorang stand up comedian keturunan Irak, Rami Nina, mengungkapkan bahwa ketika ia memutuskan untuk berhijrah ke negeri barat, banyak orang mencuriganya sebagai teroris. Saking seringnya disalahpahami, dalam materi komedinya, ia membeberkan bahwa ia jatuh miskin karena uangnya habis untuk membiayai terorisme.
Lalu, seorang audiens dengan spontan bertanya. Ia pun menjawab singkat, tapi menohok, “karena selama ini aku membayar pajak kepada Amerika”. Sontak, seluruh audiens terbelanga dan mengangguk mengakui bahwa apa yang disampaikan oleh pemuda berjanggut itu benar adanya. Materi komedi yang terinspirasi dari kisah nyata tadi memperlihatkan bahwa miskonsepsi tentang anak muda di Timur Tengah. Terorisme, sering kali berkembang karena stereotipe yang tidak akurat dan generalisasi yang tidak adil.
Beberapa miskonsepsi umum termasuk pandangan bahwa semua anak muda di Timur Tengah adalah teroris. Agama Islam secara intrinsik mendukung terorisme, bahwa semua anak muda di Timur Tengah bergabung dengan kelompok teroris. Anak muda yang terlibat dalam terorisme hanya berasal dari latar belakang miskin. Penting untuk menghindari miskonsepsi ini dan memahami bahwa mayoritas anak muda di Timur Tengah adalah individu yang beragam. Memiliki aspirasi yang positif, dan ingin menciptakan masa depan yang aman dan sejahtera.
Mengatasi terorisme melibatkan pendekatan yang berbasis pada keadilan sosial, pendidikan, pembangunan ekonomi, dan mempromosikan dialog antarbudaya serta kerjasama internasional.Tidak hanya itu, selain pendekatan sosial dari berbagai jalur, anak-anak muda Timur Tengah juga perlu lebih giat lagi memproduksi konten di media sosial. Perlihatkan sisi lain yang tidak diketahui oleh orang-orang selain Arab. Terlebih media sekarang jauh lebih beragam. Kawula muda di sana juga harus menunjukkan bahwa cara internalisasi nilai-nilai Islam tiap individu tidaklah sama.
Dengan demikian, mereka dapat memperkaya pemahaman tentang keberagaman dan kompleksitas budaya. Bahkan, agama di Timur Tengah, melampaui stereotipe dan miskonsepsi yang sering muncul. Di samping menggiatkan aktivisme digital, pendekatan lintas budaya juga diperlukan. Perlu ada dialog-dialog ringan antar wilayah yang menghubungkan bagaimana beragamnya budaya di Timur Tengah. Bahkan budaya negara-negara mayoritas Muslim.
Dengan terbangunnya strategi ini, diharapkan produksi pengetahuan yang ada dapat mengikis betapa salah kaprahnya label yang selama ini disematkan oleh orang-orang Barat kepada orang keturunan Timur Tengah. Sehingga, ke depan kasus-kasus diskriminasi dan konflik yang melibatkan migran dan warga lokal barat semakin menurun, serta stigma rasial yang melekat pada mereka tidak lagi ada. Yang selanjutnya akan terganti dengan keramahtamahan serta jalinan kerjasama untuk memerangi segala potensi ekstremisme yang ada di sekitarnya.