Ekstremisme kekerasan merujuk pada keyakinan atau sikap yang mengadopsi dan membenarkan penggunaan kekerasan ekstrem untuk mencapai tujuan politik, agama, atau ideologi tertentu. Praktik ini melibatkan penggunaan tindakan kekerasan yang ekstrem, termasuk serangan teroris, pembunuhan, penyanderaan, dan penghancuran properti. Ekstremisme kekerasan sendiri muncul dalam berbagai konteks, termasuk politik, agama, etnis, atau ideologi lainnya.
Orang-orang yang terlibat dalam ekstremisme kekerasan seringkali merasa teralienasi. Mereka tidak puas dengan sistem atau keadaan yang ada. Mereka menggunakan ideologi yang membenarkan tindakan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka. Dalam mengenali ekstremisme kekerasan, penting untuk memahami bahwa praktik tersebut tidak mewakili mayoritas orang yang memiliki keyakinan atau identitas serupa.
Sebagian besar individu yang terlibat dalam kelompok ekstremis kekerasan adalah minoritas kecil dalam komunitas yang lebih besar. Namun, dampak kekerasan yang dihasilkan oleh kelompok ini dapat sangat merugikan dan berbahaya. Bahkan, hingga bisa membuat kelompok mayoritas mengalami dampak buruk atau secara tidak langsung terkena efek negatifnya.
Contoh spesifik dari efek samping ekstremisme kekerasan adalah perekrutan kelompok perempuan dalam aksi teror. Selama ini seringkali ekstremisme kekerasan diidentikkan dengan tindakan maskulin yang dilakukan oleh laki-laki. Karena stigma tadi, banyak anggota kelompok radikal. Kemudian, memanfaatkan kondisi tersebut untuk memperdaya kelompok perempuan agar mau bergabung dan mendukung gerakan mereka.
Laporan dari Monash University dan UN Women pada 2019 lalu, menemukan bahwa banyak perempuan yang posisinya rentan dalam keluarga. Hingga akhirnya, menyetujui dan mendukung tindakan laki-laki kerabat atau pasangannya. Hal ini terjadi agar ia dapat diakui atau minimal terlihat ‘suportif’ kepada pasangan atau anggota keluarga. Jika perempuan bergerak sendiri, diperkirakan bahwa melalui dukungan kepada kelompok radikal.
Bahkan, ia mendapatkan pengakuan secara luas dan kemudian akan mendapatkan tujuan akhirnya secara lebih cepat. Selain itu, keterlibatan perempuan dalam kelompok radikal ternyata tidak mengurangi marginalisasi dan subordinasi kelompok radikal terhadap kaum hawa. Justru dengan mendorong perempuan masuk ke dalam gerakan, mereka melihat bahwa perempuan ‘bisa berguna’.
Dengan kata lain, seberapa besar peran yang dimainkan perempuan dalam kelompok radikal. Mereka tetap saja dinomorduakan: hanya menjadi alat pencapaian tujuan gerakan. Fenomena ini mencerminkan diskriminasi gender yang dalam pada kelompok-kelompok radikal tersebut. Dalam gerakan radikal, perempuan yang sering kali ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dan dibatasi dalam lingkup tertentu.
Harus berjuang mendukung gerakan ekstremis terlebih dulu agar dapat diapresiasi oleh laki-laki di lingkungannya. Kondisi tadi memperlihatkan bahwa meski telah menjadi agen utama. Hingga mengorbankan nyawa sekalipun, posisi perempuan dalam kelompok radikal masih dipandang sebelah mata. Dalam banyak kasus, selain masih diabaikan hak dan aspirasinya, perempuan juga diberlakukan sebagai mesin reproduksi.
Mereka diminta untuk melahirkan anak sebanyak-banyaknya agar gerakan radikal akan memiliki penerus yang dapat menjamin keberlangsungan organisasi. Istilahnya, perempuan menjadi ‘penjaga ideologi’. Mereka digadang-gadang akan mendapat surga dan pahala berlimpah ketika mampu mendidik anaknya untuk mengamini ideologi radikalisme. Yang menyedihkan, dari sejumlah pengakuan perempuan yang terjerat suaminya mengikuti radikalisme, ‘peran suci’ tadi tidak sebanding dengan risiko dan beban yang ditanggung.
Realitanya mereka kerap tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai ketika harus mendukung kelompok ekstremis. Terlebih, ketika mereka sedang dalam pelarian. Tidak hanya itu, asupan gizi anak-anak mereka juga ala kadarnya. Melihat betapa kompleksnya permasalahan perempuan dan radikalisme. Kita perlu memahami apa faktor pemicu yang mendorong mereka secara sukarela mendukung gerakan ekstremis.
Sejumlah alasan yang menyebabkan perempuan masuk lingkaran setan radikalisme tersebut. Termasuk, keyakinan ideologis, lingkungan sosial, atau ketidakpuasan terhadap kondisi yang mereka alami. Namun, paradoksnya adalah meskipun mereka berpartisipasi, posisi perempuan tetap terpinggirkan dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender dan mengatasi diskriminasi yang terjadi dalam konteks radikalisme.
Perlu ada pendekatan yang holistik untuk melibatkan perempuan dalam upaya pencegahan ekstremisme dan pemulihan, dengan memberdayakan mereka secara sosial, ekonomi, dan politik. Di samping pendekatan tadi, edukasi, kesadaran, dan advokasi yang kuat diperlukan untuk mengubah persepsi dan sikap kelompok radikal terhadap perempuan. Serta, mendorong perubahan struktural yang mempromosikan kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan masyarakat.