“Pemuda adalah harapan bangsa” begitu katanya. Bukan tanpa alasan mengapa ungkapan itu sering kita dengar, karena faktanya memang banyak hal-hal baru yang diciptakan anak muda dan itu mampu mengubah peradaban manusia. Menilik sejarah Indonesia misalnya, Kita disuguhkan sejarah dan cerita bagaimana para pemuda ikut andil dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia. Maka tak heran juga jika Soekarno berkata, “Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”.
Dalam konteks perdamaian, resolusi konflik, dan juga pencegahan ekstrimisme berbasis kekerasan, dunia internasional telah mengakui pentingnya partisipasi bermakna pemuda. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 2250 tentang pemuda telah mengukuhkan itu. Sebagaimana perempuan dan anak yang menjadi kelompok rentan terhadap konflik dan ekstrimisme, ancaman konflik dan ekstrimisme berbasis kekerasan juga dihadapi oleh para pemuda. Karenanya, pelibatan pemuda juga harus mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak.
Seperti yang dilakukan oleh Working Group on Women and P/CVE (WGWC). Jika sebelumnya WGWC hanya berfokus pada isu perempuan dan anak, Saat ini WGWC berusaha membuka perspektif baru terkait keterlibatan anak muda dalam pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme. Dalam WGWC Talk seri 23 yang diadakan secara online pada 23 Februari 2023, WGWC Bekerjasama dengan INFID dan AMAN Indonesia berusaha membuka ruang aman berbagi dan berdiskusi tentang pentingnya anak muda menyuarakan keberagaman dan toleransi, serta bagaimana pemuda menjadi pelopor perdamaian.
Pemuda: Kerentanan dan Potensi
Ungkapan Soekarno tentang kekuatan pemuda merupakan penegasan bahwa masa depan akan selalu diisi oleh anak muda. Baik buruknya suatu negara akan tercermin dari mental generasi mudanya. Pemuda adalah kelompok terbesar yang sangat strategis karena generasi muda selalu memiliki idealisme yang cukup unik.
Mereka mampu berfikir kreatif dan mengekspresikan pikiran imajinatifnya menjadi tindakan yang ekspresif. Karenanya, mereka mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai Agent of Chage sekaligus Agent of Social Control. Artinya, pemuda bukan hanya sebagai agen perubahan tetapi juga berperan sebagai pengawas di masyarakat.
Rani Dwi Putri, peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gajah Mada (UGM) yang berperan sebagai penanggap dalam diskusi mengatakan bahwa pemuda mempunyai banyak sekali kekuatan, baik dari segi demografi maupun potensi daya pikir. Namun menariknya, pemuda selalu dalam dua posisi yang berlawanan. Di satu sisi disimbolkan sebagai aktor penting dalam pembangunan perdamaian, Namun di sisi lain pemuda juga mendapat stigma atau pelabelan yang tidak sesuai dengan generasi tua. Menurut Rani, inilah kemudian yang menjadi kerentanan generasi muda.
Pemuda berada di masa transisi menuju dewasa. Sudah bukan anak kecil, namun juga dianggap masih belum dewasa. Mereka mungkin sudah mengetahui dan memahami banyak hal, namun masih dianggap belum mempunyai suara dan independensi untuk memutuskan sesuatu. Karena hal inilah maka kemudian pemuda rentan mengalami krisis identitas di mana mereka berusaha mencari jati dirinya. Siapa mereka sekarang dan siapa mereka di masa yang akan datang. Masa-masa ini menjadi masa yang paling rentan bagi pemuda untuk terpengaruh oleh kelompok atau ideologi ekstrimisme.
Terlebih, banyak studi yang menyebutkan bahwa kelompok ekstrimis mempunyai banyak cara untuk mengkomodasi identitas pemuda. Hal tersebut menyebabkan banyak pemuda yang tertaik dengan gerakan-gerakan intoleransi. Mereka merasakan such of belonging dalam kelompok itu karena merasa aman setelah sebelumnya merasa tidak aman terhadap masa depan. Dalam posisi ini maka kemudian pemuda rentan sekali menjadi pelaku dan juga korban.
Padahal, temuan Independent Progress Study on Youth Peace and Security menyatakan bahwa pemuda cenderung lebih resilien dan damai. Karena itulah paradigma hitam putih dalam melihat pemuda hanya sebagai pelaku dan korban harus mulai bergeser. Bahwa sesungguhnya ada keterikatan kuat antara pelibatan penuh pemuda dengan terciptanya perdamaian yang berkelanjutan, sehingga pemuda dengan beragam inisiatifnya harus didukung.
Pemuda dan Ruang Berkespresi yang Tepat: Peluang dan Tantangan
Karena kerentanan yang bersandingan dengan potensi yang sangat besar itulah, maka pemuda membutuhkan wadah yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan pemuda dalam pencarian jati diri, baik yang bersifat intrapersonal maupun interpersonal. Di masa transisi ini, penting bagi pemuda untuk mempunyai pengalaman langsung menghadapi perbedaan di sekitarnya.
Agar nanti ketika masa transisi ini terlewati, para pemuda akan menjadi pribadi dewasa yang mempunyai prinsip dan identitas kuat terhadap perbedaan dan toleransi. Pengalaman-pengalaman langsung itulah yang membuat para pemuda menjadi lebih mempunyai resiliensi terhadap perbedaan dan keberagaman. Youth Camp Muda Toleran yang diinisiasi INFID dan juga Gusdurian menjadi salah satu program efektif yang bisa menjadi rujukan dalam memberikan pengalaman-pengalaman tersebut sekaligus sebagai ruang aman untuk bersuara.
Dalam kemah tersebut para pemuda dipertemukan satu sama lain dan saling bercerita tentang pengalamannya di akar rumput. Banyak dari mereka juga yang menjadi korban diskriminasi karena berasal dari kelompok minoritas, Di satu sisi, ada juga yang menjadi pelaku intoleransi karena terjebak dalam prasangka dan stigma yang ada. Testimoni dari para peserta Youth Camp juga sangat positif. Mereka berpendapat bahwa Ruang perjuampaan seperti inilah yang membuat mereka saling mengenal sehingga terurailah segala prasangka yang selama ini menjadi penyebab munculnya diskriminasi ataupun intoleransi.
Mereka belajar mendengarkan dengan empati bahkan saling menguatkan.Dari situlah kemudian mereka bisa menuangkan ide-ide yang imaginatif khas anak muda untuk kemajuan bersama, khususnya dalam Upaya membangun perdamaian.Stigma yang dilekatkan kepada anak muda dan pelabelan yang tidak sesuai dengan generasi tua menjadi kerentanan sekaligus tantangan ke depannya. Pemuda saat ini sering disebut dengan Strawberry Generation, yaitu generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, namun juga gampang terlena dengan zona nyaman dan lebih mudah menyerah.
Adanya stigma ketimpangan pragmatis bahwa pemuda hanya mencari yang menguntungkan untuk dirinya ini agaknya perlu diklarifisasi lagi. Karena itu diperlukan ruang perjumpaan lintas generasi yang mempertemukan generasi tua dan juga generasi muda sehingga stigma tersebut bisa terurai dengan klarifikasi dan konfirmasi. Bahwa sebenarnya para pemuda memang mempunyai karakter yang unik dan khas namun mereka tetap empunyai rules yang sama terkait dengan bagaimana menciptakan lingkungan yang toleran dan menjunjung tinggi perdamaian.
Mereka perlu mendapatkan dukungan dan arahan sehingga menjadi generasi yang tangguh dan resilien. Karenanya, kolaborasi antara generasi muda yang penuh dengan ide-ide kreatif dan imajinatif dan juga generasi tua yang sudah lebih stabil dan mendapatkan tempat di masyarakat menjadi suatu kebutuhan yang sangat urgen untuk diwujudkan. Harapannya tentu adalah demi membangun peradaban masyarakat yang cinta damai. Menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.