Jika selama ini teroris identik dengan pelaku yang mengatasnamakan Islam, film “22 July” justru menyingkap kekejaman teroris dalam menyerang Islam. Film Tersebut merujuk pada peristiwa tragis yang terjadi di Norwegia pada tahun 2011. Film ini dirilis pada tahun 2018 yang disutradarai oleh Paul Greengrass dan didasarkan pada buku non-fiksi ”One of Us” karya Åsne Seierstad.
Sosok Paul Greengrass membawa penonton secara emosional melalui peristiwa tragis ini. Ia berhasil menggambarkan kepanikan, kebingungan, dan keputusasaan yang dirasakan oleh para korban. Serta upaya petugas kepolisian dan tim penyelamat dalam menangani situasi tersebut.
Greengrass menggunakan pendekatan sinematografi yang intens. Salah satunya dengan kamera yang bergerak dan adegan yang kuat secara visual untuk menggambarkan ketegangan dan kesulitan yang dialami. Tokoh sentral dalam penyerangan ini adalah Anders Behring Breivik. Breivik adalah seorang ekstremis kanan Norwegia yang melakukan dua serangan terpisah. Yakni, meledakkan bom di Oslo dan menembaki peserta perkemahan pemuda di Pulau Utoya.
Breivik menjalankan aksi teror tersebut sebagai bagian dari pandangannya yang anti-imigrasi, anti-Islam, dan anti-multikulturalisme. Dia menyatakan kebencian terhadap imigran dan keyakinan politiknya yang radikal dalam manifesto yang ia tulis sebelum serangan. Hal ini tercermin ketika dia menembak sambil berkata, “Liberal, aku benci itu”.
Serangan bom pertama dilakukan di depan kantor pemerintah Norwegia di Oslo. Bom yang diletakkan di dalam sebuah mobil menyebabkan kerusakan besar pada bangunan dan menewaskan delapan orang. Ia berpura-pura menjadi sosok polisi dan seluruh bom untuk meledakkan Gedung tersebut di dalam mobil. Setelah meledakkan bom, Breivik pergi ke Pulau Utopya, di mana sedang berlangsung perkemahan pemuda yang diadakan oleh Partai Buruh Norwegia.
Mengenakan seragam polisi, dia menembaki peserta perkemahan secara acak dan membunuh 69 orang, sebagian besar adalah remaja. Disinilah potret ketakutan para remaja yang sedang melaksanakan kemah di Pulau Utopya. Mereka adalah anak muda yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang teroris. Keadaan diperparah dengan sikap para anak remaja yang berlari dan menyembunyikan diri di semak-semak hutan.
Meskipun demikian, usaha mereka tetap dicari oleh Breivik untuk ditembak untuk benar-benar mati. Potret kekejamannya membuat penonton merasa merinding, seperti adegan-adegan dalam games yang sedang memburu musuh. Breivik akhirnya ditangkap oleh polisi dan diadili di pengadilan. Pada 2012, dia divonis bersalah atas pembunuhan dan tindakan terorisme, dan dihukum 21 tahun penjara yang dapat diperpanjang.
Dia dipandang sebagai salah satu teroris paling berbahaya dalam sejarah Norwegia. Serangan teror yang dilakukan oleh Breivik mengguncang Norwegia dan menyebabkan duka yang mendalam bagi negara itu. Kejadian ini juga memicu perdebatan tentang keamanan, ekstremisme kanan, dan cara mengatasi ancaman terorisme di Norwegia dan di seluruh dunia.
Salah satu potret kelam yang digambarkan dalam film ini adalah para korban yang mendapatkan serangan. Mereka menderita banyak luka-luka berat. Bahkan, penggambaran dalam film tidak hanya orang mati, akan tetapi luka yang bercecaran di mana-mana. Hingga dampak yang ditimbulkan bagi para korban yang mendapatkan luka berat. Film ini menyajikan narasi yang kuat dan menggugah.
Dalam segi akting, para aktor yang terlibat memberikan penampilan yang mengesankan. Pemeran utama, Jonas Strand Gravli, tampil luar biasa dalam peran sebagai salah satu korban yang selamat dari serangan tersebut. Performa Seda Witt sebagai salah satu korban lainnya juga patut diacungi jempol.
Breivik menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memprotes imigrasi dan Islamisasi di Norwegia, serta memicu perubahan politik di negara tersebut. Saat ini ia masih menjalani hukuman penjara di Norwegia. Kejadian ini memicu kesadaran dunia bahwa serangan para ekstremis yang didasari pada kebencian, ketidaksetujuan terhadap aliran atau ideologi tertentu. Hal itu, membuat orang melakukan aksi-aksi teror yang dapat menghilangkan nyawa banyak orang.
Pada hakikatnya, gerakan ekstremis tidak hanya mengacu pada tokoh-tokoh yang mengatasnamakan Islam, seperti selama ini diketahui. Kehadiran film ini membuat penonton menyadari bahwa, serangan akan kebencian terhadap Islam juga sangat berbahaya. Yakni, seperti stigma Islam yang dikatakan sebagai teroris.