Ledakan bom di tiga gereja di Surabaya pada tahun 2018 nampaknya menjadi sejarah tragis yang cukup mengejutkan bukan saja di Indonesia namun juga dunia internasional. Pasalnya, bom bunuh diri tersebut melibatkan satu keluarga, termasuk istri dan anak. Peristiwa ini sekaligus menandakan bahwa perempuan dan anak tidak lagi berada di garis belakang aksi teror, namun bergeser menjadi pelaku eksekusi yang berada di garda terdepan. Aksi-aksi teror sebelumnya yang berwajah maskulin, belakangan memanfaatkan perempuan sebagai pelaku dengan pendekatan feminine.
Isu tentang perempuan masuk ke dalam terorisme dan ekstrimisme sebenarnya bukanlah hal baru. Namun masalahnya, dalam konteks Indonesia, keterlibatan perempuan dalam terorisme semakin bervasiari. Dari yang hanya membantu menyembunyikan pelaku teror yang biasanya adalah suaminya, kegiatan intelejen di mana perempuan dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk mencari dan mengumpulkan informasi terhadap target teror, sampai kemudian berkembang menjadi pelaku bom.
Kontruksi Sosial dan Pemaknaan Jihad Perempuan
Konstruksi sosial didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi yang dilakukan secara terus menerus. Interaksi tersebut kemudian menjadi suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama dalam suatu society. Dalam hal ini, teori konstruksi sosial yang digagas oleh Berger dan Luckman menegaskan bahwa agama sebagai bagian dari kebudayaan merupakan konstruksi manusia.
Artinya, terdapat proses dialektika antara masyarakat dengan agama. Agama akan mengalami proses objektivikasi sebagaimana ketika agama berada dalam teks dan norma. Teks dan norma tersebut kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam diri individu karena telah diinterpretasi oleh manusia untuk menjadi sebuah aturan atau way of life.
Teori ini dapat digunakan untuk membaca bagaimana kontruksi sosial memberikan pemaknaan jihad bagi perempuan. Keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak lepas dari interaksinya baik dalam keluarga maupun individu lain dalam kelompoknya maupun di luar kelompoknya. Ketika membicarakan konsep jihad misalnya, realitas yang muncul adalah bagaimana masing-masing individu tersebut berbeda pandangan dalam memaknai jihad, bagaimana hukumnya dan juga implementasinya.
Ini menandakan bahwa pemahaman yang mereka konstruksikan tidak lepas dari pengaruh dengan siapa mereka berinteraksi. Menarik untuk diketahui, bahwa sebagian besar perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme adalah perempuan yang tergolong berpendidikan. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi, Sebagian lagi juga lulusan pesantren dan SMA. Dari segi ekonomi, tidak sedikit yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Pertanyaannya, bagaimana bisa mereka terlibat dalam aksi terorisme?
Perlu diketahui bahwa sebagian besar perempuan tersebut direkrut melalui lembaga pernikahan. Dari situlah kemudian mereka didoktrin oleh suami dengan doktrin-doktrin yang radikal, termasuk tentang pemaknaan jihad. Hal ini sekaligus membuktikan teori Berger tadi bahwa pemahaman keagamaan erat kaitannya dengan siapa mereka berinteraksi.
Perempuan sebagai pelaku aktif terror dapat kita lihat dari sosok Dian Yulia Novi yang tidak sempat melancarkan aksi bomnya karena keburu ditangkap. Dalam pengakuannya Dian mengatakan bahwa motivasi terbesar dia hendak meledakkan diri adalah karena dia merasa Tindakan tersebut adalah bentuk jihadnya terhadap agamanya. Proses menemukan makn jihad terbentuk dari aktivitas daringnya yang awalnya penasaran tentang akun-akun yang kerap memposting jihad.
Aktivitas daring dalam menemukan makna jihad kian intensif sampai pada akhirnya dia berkenalan dan menikah dengan Nur Solihin yang merupakan simpatisan ISIS dari Indonesia. Pernikahan tersebut semakin menguatkan militansi Dian akan semangat jihad. Dian meyakni bahwa terlibat dalam keberanian jihad merupakan jalan menuju surga yang dijanjikan oleh setiap agama karena telah membeela kebenaran dan menegakkan keadilan.
Dominasi Patriarki Memperparahnya
Dalam kultur dan keyakinan para pelaku tindak pidana terorisme, posisi perempuan tidak terlalu dianggap penting terutama dalam pengambilan keputusan atau menyatakan pendapat. Mereka diwajibkan untuk mengikuti apa saja yang disampaikan oleh suami mereka. Di titik ini, lembaga pernikahan menjadi media yang sangat efektif dalam memberikan indoktrinasi tentang jihad. Banyak yang sengaja dinikahi untuk selanjutnya didoktrin dengan ideologi radikal.
Keadaan tersebut tidak terlepas dari budaya patriarki yang masih mengental di masyarakat. Dalam budaya ini, laki-laki dianggap memang sudah ditakdirkan untuk mengatur perempuan. Hegemoni tersebut memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum dan tersosialisaai secara turun emurun dari generasi ke generasi. dalam hal ini maka laki-laki dianggap wajar jika mendominasi, menindas maupun mengeksploitasi perempuan.
Kaitannya dengan kultur terorisme tadi, walaupun secara umum peran perempuan dalam kelompok radikal sesungguhnya bukan peran yang utama dan tidak sentral, namun peran mereka akan cepat diakui dan dihormati jika mereka dapat menunjukkan keberanian dalam berkorban, termasuk berkorban jiwa dan raga. Inilah yang menjadi kunci.
Dorongan untuk menjadi terkenal kesalehannya, keikhlasannya atau keberaniannya melepas suaminya berjihad menjadi idaman setiap perempuan dalam kelompok radikal. Dalam perkembangannya, hanya sebagai pendukung dan penopang suami dipahami sebagai jihad kecil yang tidak terlalu diminati, terutama bagi perempuan yang sudah sangat militant dan merasa punya agenda untuk ikut berjuang dengan caranya.
Fakta ini memberikan kesimpulan bahwa walaupun perempuan menjadi pelaku terorisme, pada hakikatnya mereka tetap korban. Korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan. Kerentanan itu kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan rencana keji terorisme. Perempuan menjadi sasaran kelompok radikalisme agama dengan mengatasnamakan agama sebagai legitimasi untuk mengontrol perempuan.Hal itu diperparah dengan nilai-nilai budaya yang secara umum berwatak patriarkis dan bias gender.