“Jika hak-hak Muslimah menjadi problem besar bagi laki-laki Muslim di era modern, akar masalahnya bukan karena ajaran Islam atau Nabi Muhammad. Justru itu bisa terjadi karena banyak penguasa atau tokoh elit laki-laki Muslim sekarang merasa takut jika kepentingan pribadinya berkonflik dengan hak-hak dasar kaum Hawa,” jawab Fatima Mernissi.
Fatima Mernissi menjawabnnya dengan lantang. Kita semua mengetahui jika Kelompok Islam radikal kerap kali menetapkan aturan yang tidak masuk akal terhadap perempuan seperti yang terjadi di Afghanistan saat ini. Pada 2021, Taliban telah mengambilalih Afganistan, banyak perempuan di sana menghadapi pembatasan baru yang berkaitan dengan hak-hak dasar mereka.

Padahal sejarahnya, sebelum Taliban berkuasa, perempuan-perempuan Afghanistan merupakan kelompok masyarakat yang aktif dalam banyak bidang. Namun, sayangnya usaha mereka lagi-lagi harus terhambat. Sebab, konflik yang tak kunjung usai dan sekelompok elit egois yang hanya berkaca pada kepentingan personal dan kelompoknya saja.
Bahkan menurut pakar dari PBB, Richard Bennett, kondisi perempuan Afghanistan semakin memburuk dari hari ke hari. Beberapa di antara mereka menghadapi trauma dan depresi berat hingga memunculkan perasaan ingin bunuh diri. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ketika Taliban kembali berkuasa, gerak perempuan amatlah dibatasi.
Desember lalu, ketika ia akan pergi kuliah, tiba-tiba sejumlah pasukan Taliban melarangnya masuk dan menyuruhnya untuk pulang ke rumah. Perlakuan kasar yang ia dapatkan membuatnya semakin tertekan. Bahkan kini, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan konseling psikologis. Hal ini karena dia tak tahan lagi akan pembatasan gerak yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa sekarang.
“Saya tak tahan dengan apa yang Taliban lakukan. Saya ingin orang di luar sana mendengarkan aspirasi kami. Kami betul-betul menderita. Bahkan saya bukan satu-satunya mahasiswi yang menderita depresi dan kecemasan berlebihan. Semua murid mengalami hal yang sama. Kami tidak ada harapan lagi,”ungkap pengakuan salah satu mahasiswa yang identitasnya disembunyikan.
Pengakuan mahasiswi tersebut dibenarkan oleh Dr. Amal, psikolog yang membuka praktik di negeri Pashtun tersebut. Ia menambahkan bahwa depresi kini sedang menjamur di tanah kelahirannya. Orang-orang memiliki kepercayaan rendah terhadap elit Taliban. Bagaimana tidak, mereka sempat menjanjikan bahwa perempuan tetap diperbolehkan sekolah.
Tapi nyatanya, tidak semua mendapatkan kesempatan tersebut. Saat ini, semakin membuat jengkel publik adalah anak-anak perempuan pejabat Afghanistan justru dikirim ke luar negeri untuk kuliah di kampus-kampus ternama Timur Tengah. Hal yang semakin menunjukkan kesenjangan sosial di Afghanistan.
“Tak heran, krisis kesehatan mental di sini kian menjadi-jadi. Ketika pandemi menerjang, hampir seluruh masyarakat mengalami depresi karena kekurangan bahan makanan dan interaksi sosial. Sekarang, situasi semakin tidak menentu. Alih-alih mengatasi krisis, kebijakan Taliban justru tidak mengubah keadaan, malah membuat kondisi di Afghanistan semakin buruk,” begitu pengakuan Amal.
Meski tingkat depresi semakin meningkat drastis, Amal menyayangkan bahwa masih banyak orang menghindari pembicaraan terkait kesehatan mental di negeri Pashtun. Menurutnya, jika membaca berita, dirinya hanya dihadapkan pada krisis ekonomi dan busung lapar saja. ”Padahal realitanya, penderitaan yang dialami masyarakat, terutama kelompok perempuan, jauh lebih buruk dibandingkan apa yang tertulis di media. Orang-orang di sini merasa mereka diracuni perlahan-lahan,” katanya.
Lebih lanjut, Dr. Amal bercerita bahwa ia menerima 170 panggilan permintaan bantuan dalam waktu dua hari setelah pengumuman otoritas bahwa mereka melarang perempuan untuk masuk kampus. Sekarang ia mendapatkan sekitar tujuh hingga 10 panggilan permintaan bantuan baru setiap hari. Sebagian besar pasiennya adalah perempuan muda yang telah kehilangan harapan.
Dari dulu budaya patriarki memang masih kental di Afghanistan. Namun, perempuan masih diberi kesempatan menuntut ilmu. Kini, kondisinya kian memburuk. Kaum hawa yang telah lelah akibat perang selama empat dekade, harus menanggung Kembali konflik yang diciptakan penguasa.
PBB memperkirakan bahwa satu dari dua orang – sebagian besar wanita – menderita tekanan psikologis. Bahkan, sebelum pemerintahan Taliban mengambil alih pada tahun 2021. Dan, kondisi mereka diperkirakan menjadi lebih buruk daripada sebelumnya karena tindakan keras pemerintah Taliban terhadap kebebasan wanita, dan krisis ekonomi di negara tersebut.
Sayangnya, isu kesehatan mental ini kerap diabaikan. Banyak orang melihat kesehatan mental bukan problem yang kompleks. Hanya sedikit keluarga yang mau terbuka dan kemudian berbicara tentang bunuh diri. Nadir adalah salah satunya. Ketika jurnalis internasional datang, ia memberitahu mereka bahwa putrinya mengakhiri hidupnya pada hari pertama semester baru di bulan Maret tahun ini.
”Sampai hari itu, anak saya masih percaya bahwa sekolah akan dibuka kembali untuk para gadis. Ia yakin akan hal itu. Tetapi ketika sekolah tak kunjung dibuka. Ia menjadi amat frustasi. Ia berpikir bahwa ia sendiri juga tidak bisa mengatasinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri hidup, meninggalkan kami,” kata Nadir terisak.
Sembari memandang ke langit jauh, Nadir kembali mengenang putrinya, ”Putri saya sangat suka pergi ke sekolah. Ia adalah pribadi yang pintar, pemikir, dan ingin belajar dan bahkan ia punya cita-cita untuk membangun negara di masa depan. Ketika sekolah ditutup, ia sangat depresi, dan yang bisa ia lakukan hanyalah terus-menerus menangis,” pungkasnya.