Ketika mendengar kata abnormalitas, saya yakin fikiran kita langsung membayangkan pada kondisi di mana sesuatu itu tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Kasarannya, tidak normal. Sebagian pakar psikologi memang mendefinisikan abnormalitas sebagai lawan dari kepribadian yang normal.
Batasan dikatakan abnormal adalah jika keluar dari norma sosial dan norma individu. Sebagian lagi mengatakan bahwa abnormal ditujukan pada tingkah laku yang menyimpang secara mencolok dari acuan normatif, namun tidak selalu berkonotasi negatif. seperti orang genius misalnya. Lantas apa kaitannya abnormalitas dengan radikalisme dan terorisme?
Abnormalitas dalam Beragama
Setiap agama selalu memiliki konsep abnormalitas perilaku baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam konteks psikologi, agama bisa dianggap sebagai stimulus yang memerlukan respon para pemeluknya, dan respon tersebut mempunyai standar. Misalnya, status bahwa ibadah tertentu hukumnya wajib, maka standarnya adalah pemeluknya harus melakukannya.
Sebaliknya, jika status perbuatan itu adaah haram, maka standarnya adalah pemeluknya tidak boleh melakukannya. Bentuk respon pemeluk agama yang dinilai berdasarkan standar tersebutlah yang menentukan pemeluk agama tersebut normal atau tidak normal. Dalam psikologi Islam, abnormalitas psikologi dan gangguan kepribadian dibagi menjadi tiga.
Pertama, abnormalitas yang berhubungan dengan akidah seperti menyekutukan Allah dan hal-hal yang termasuk dosa besar. Kedua, abnormalitas yang berhubungan dengan kemanusiaan seperti iri hati, dengki dan penyakit hati lainnya termasuk menyakiti dan mefitnah. Terakhir, yang ketiga adalah abnormalitas yang berhubungan dengan pemanfaatan alam semesta sebagai realisasi tugas-tugas kekhalifahan.
Namun secara garis besar Batasan perilaku abnormal dalam Islam adalah tidak melakukan perintah Allah SWT dan melewati batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, yang kemudian menyebabkan gangguan kepribadian. Indikasinya adalah ketidaktenangan dalam hati sehingga mengganggu aktualisasi diri.
Terorisme: Abnormalitas dalam Beragama
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa tindakan terorisme seperti aksi pengeboman pihak lain maupun bom bunuh diri merupakan wujud aktualisasi diri dari pelaku. Argumentasinya dilandaskan pada anggapan bahwa untuk melakukan perilaku teror tersebut membutuhkan pengerahan potensi yang luar biasa. Selain itu, para pelaku melakukan nilai-nilai yang diyakininya benar secara total.
Namun, Ahmad Saifuddin dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Agama, Implementasi Psikologi Untuk Memahami Perilaku Beragama” berpendapat bahwa radikalisme dan terorisme atas nama Islam tetap merupakan abnormalitas psikologi. Menurutnya, jika dianggap sebagai aktualisasi diri pelaku, maka berarti hal tersebut hanya dilihat dari sudut pandang pelaku saja.
Padahal perilaku tersebut memperikan impact yang sangat luar biasa terhadap masyarakat luas. Perilaku teror ini mengakibatkan banyak kerugian bahkan hilangnya nyawa. Karena itu menurutnya, batasan radikalisme dan terorisme atas nama Islam harus memakai perspektif yang luas. Saifuddin mengurai faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya radikalisme dan terorisme.
Dalam analisisnya, Saifuddin berkesimpulan bahwa sebagian besar factor tesebut erat kaitannya dengan sisi psikologis individu dan kelompok. Kondisi psikologis teroris dan radikalis ini yang kemudian menjadi indicator bahwa perilaku radikal dan teror atas nama Islam adalah abnormalitas, bukan aktualisasi diri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, yaitu:
1. Adanya rasa frustasi yang disebabkan kesenjangan antara harapan dan realita karena kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan. Hal ini menyebabkan kesejahteraan tidak tercapai. Di banyak penelitian mengungkapkan bahwa perilaku agresi yang ditunjukkan olehradikalis dan teroris adalah karena mereka mengalami frustasi akibat kesenjangan antara harapan dan realita tersebut.
Hegemoni Barat terhadap Islam memunculkan keinginan para radikalis untuk kembali pada masa kejayaan Islam dahulu kala. Keinginan ini sebenarnya normal jika direspon dengan perilaku adaptif seperti membangun kejayaan Islam dengan cara memajukan ilmu dan teknologi misalnya, atau mewujudkan solidaritas terhadap negara Islam yang sedang mengalami krisis dengan memberikan bantuan kemanusiaan. Namun tidak dengan kaum radikalis, mereka justru merespon dengan perilaku agresi berupa tindakan teror yang justru mengakibatkan permasalahan yang lebih besar.
2. Adanya polarisasi ingroup-outgroup. Radikalisme terbentuk dalam situasi pemisahan kubu ingoup (kelompok sendiri) dan outgroup (kelompok di luar dirinya). Hal ini kemudian membentuk klaim bahwa kelompoknya sebagai pihak yang “paling” benar dan mendehumanisasi kubu lawannya sebagai “monster” atau “setan”. Pada akhirnya kondisi ini menimbulkan perilaku heuristic di mana mereka cenderung overgeneralisasi. Mereka mudah menghakimi banyak orang hanya berdasarkan persepsi dan anggapannya yang kurang holistik sehingga mengambil keputusan dengan cepat tanpa data yang lengkap.
3. Melakukan Displacement, atau penempatan secara tidak normal. Para teroris sangat memusuhi Amerika Serikat dan sekutunya karena dianggap merusak stabilitas negara Islam dan melakukan hegemoni terhadap negara-negara tersebut. Namun Kebencian terhadap Amerika serikat diekspresikan pada objek yang tidak tepat. Tidak heran, para radikalis dan teroris seringkali justru menyerang simbol-simbol yang merepresentasikan Amerika Serikat dan sekutunya, bukan hegemoninya.
Contohnya, Mereka menyerang dan membom kedutaan besar Amerika Serikat, padahal di dalam kantor tersebut justru banyak orang Indonesia dan orang Islam yang bekerja di situ. Contoh lainnya, mereka sering menyandera orang kulit putih, padahal belum tentu orang tersebut adalah orang Amerika Srikat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa radikalisme dan terorisme tidak bisa dianggap sebagai aktualisasi diri semata, karena banyak sekali proses psikologis yang abnormal. Di sisi lain, perilaku radikal dan teror juga menyebabkan kerugian dalam skala yang cukup besar dan mengancam keselamatan.
Dalam psikologi Agama Islam, hal tersebut juga dikategorikan dalam abnormalitas beragama.
Membincang terorisme melalui sudut pandang psikologi agama penting untuk dilakukan sebagai tambahan referensi dalam upaya mengatasi radikalisme dan terorisme atas nama agama. Upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan memberikan edukasi tentang cara berpikir yang komprehensif dan holistic terhadap suatu permasalahan.
Edukasi ini bisa melalui keluarga, lingkungan dan pergaulan masyarakat, pendidikan formal, serta budaya belajar agama kepada guru yang memiliki rantai keilmuan yang jelas. Mereka yang sudah terjerumus pada radikalisme biasanya akan sulit menerima ajaran dan pemahaman di luar pemahamannya, sehingga upaya untuk mempengaruhi mereka dengan pemikiran lain menjadi tidak efektif.
Di momen inilah pendekatan psikologi dibutuhkan. Mendekati mereka dengan menonjolkan masalah dari segi kemanusiaan bisa dilakukan. Sesi konseling dan mempertemukan mereka kepada keluarga korban terorisme juga bisa menjadi alternatif strategi. Hal ini bertujuan agar rasa empati mereka terasah kembali sehingga pola pikirnya berubah, menyadari kesalahan dan kembali ke pangkuan bumi pertiwi.