Berbeda dengan ekstremisme sayap kanan yang gerakannya lebih massif, gerakan ekstremisme sayap kiri lebih jarang ditemui. Bahkan, komunitasnya sangat sedikit. Padahal, jika ditilik dari sejarah, ekstremisme sayap kiri juga memiliki akar historis yang cukup panjang. Sejarah ekstremisme kiri dapat ditelusuri ke beberapa periode dan gerakan politik yang berbeda di berbagai negara.
Pada abad ke-19, muncul gerakan sosialis dan komunis di Eropa sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan ekonomi pada masa itu. Gerakan-gerakan ini menuntut perubahan mendasar dalam struktur sosial dan ekonomi yang ada. Dengan kata lain, ekstremisme kiri berupaya melawan tatanan dasar demokrasi bebas yang didasarkan pada internalisasi nilai-nilai kebebasan secara kolektif.
Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa kelompok dalam gerakan ini mengadopsi metode dan retorika radikal. Salah satu titik penting dalam sejarah ekstremisme kiri adalah Revolusi Rusia tahun 1917, yang melahirkan negara sosialis pertama di dunia, Uni Soviet. Setelah revolusi, Bolshevik yang berhaluan komunis mengambil alih kekuasaan dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mencerminkan ideologi komunis.
Dalam perjalanan waktu, rezim Soviet mengalami pengerasan politik dan represi yang berujung pada ekstremisme dan kekerasan. Gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an juga memberikan kontribusi penting dalam sejarah ekstremisme kiri. Gelombang gerakan mahasiswa di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Amerika Latin, melibatkan kritik terhadap kapitalisme, imperialisme, dan ketidaksetaraan sosial.
Beberapa kelompok mahasiswa di kalangan gerakan ini mengadopsi paham radikal dan menggunakan taktik kekerasan dalam perjuangan mereka. Selain itu, terdapat pula kelompok militan yang beraliran kiri dan menggunakan taktik terorisme sebagai sarana perjuangan politik. Beberapa contoh yang cukup terkenal adalah Organisasi Bersenjata Merah di Jerman, Brigate Rosse di Italia, dan Kelompok Bersenjata 17 November di Yunani.
Kelompok-kelompok ini melakukan serangkaian serangan teror dan pembunuhan untuk mencapai tujuan politik mereka. Meskipun gerakan ekstremis kiri dalam bentuk yang sama seperti pada masa lalu telah menurun. Namun, masih ada kelompok-kelompok kecil yang menggunakan kekerasan untuk mempromosikan agenda politik mereka. Beberapa kelompok anarkis dan anti-fasis saat ini terlibat dalam tindakan kekerasan, seperti kerusuhan jalanan dan serangan terhadap simbol-simbol kapitalisme serta fasisme.
Pada bulan Mei lalu misalnya, di Jerman, seorang mahasiswi berusia 28 tahun bernama Lina E. Dia ditangkap oleh kepolisian setempat setelah melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok neo-Nazi. Ia dijatuhi hukuman lima tahun dan tiga bulan penjara, tetapi kemudian diberitahu bahwa ia hanya perlu kembali ke penjara jika ia juga kalah dalam banding.
Tiga rekannya yang laki-laki masing-masing dihukum selama kurang lebih tiga tahun penjara. Meski melakukan tindak kekerasan, tapi para terdakwa ini justru disambut dengan tepuk tangan meriah pada hari persidangan. Banyak pendukung mereka datang dan melambaikan tangan. Saat masuk ruangan, semua terdakwa bahkan berjalan seraya tersenyum kepada teman dan keluarga mereka.
Bahkan ketika Lina, sang pelaku utama, dibawa masuk oleh pihak keamanan, tepuk tangan terdengar semakin keras dan lebih lama. Hal itu, membuat hampir seluruh peserta sidang berdiri, kecuali para jurnalis. Gambaran tadi memperlihatkan bagaimana ekstremisme sayap kiri merupakan masih tumbuh di Eropa, terutama di Jerman.
Berdasarkan data dari Kepolisian Jerman, sebenarnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh kelompok radikal sayap kiri terus menurun. Trennya berbanding balik dengan kalangan ekstremis sayap kanan yang tiap tahunnya mencetak rekor baru tindak kriminal. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa gerakan ekstremisme kiri ini tidak berbahaya. Justru, kejadian yang terjadi di Jerman, harus menjadi alarm untuk semua pihak bahwa gerakan ekstremisme amatlah beragam dan memiliki tujuan yang berbeda-beda.
Hal penting untuk dicatat bahwa ekstremisme kiri adalah fenomena yang kompleks dan memiliki variasi dalam hal ideologi dan taktik. Bahkan, dampaknya bersifat heterogen di berbagai konteks sejarah dan geografis. Tidak semua kelompok atau individu yang menganut paham kiri adalah ekstremis atau menggunakan kekerasan. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa gerakan ekstremisme kiri, meskipun beragam dan memiliki tujuan yang berbeda-beda, masih dapat membawa dampak yang merugikan.
Kasus yang terjadi di Jerman selain menjadi alarm, juga harus menjadi pengingat bagi semua pihak akan pentingnya memantau. Serta menangani kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan ekstremis dengan serius. Pemahaman melalui penelitian, sosialisasi dan penanganan efektif tentang fenomena ini perlu ditekankan kepada semua pihak. Hal ini dilakukan, agar kita semua dapat menghindari generalisasi yang tidak akurat pada kelompok kiri dan melindungi nilai-nilai dasar demokrasi yang dijunjung tinggi.