29 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Karlina Supelli dan Perspektif Fanatisme Agama

Sosok Karlina Supelli, baru-baru ini saya temui melalui youtube Gita Wirjawan. Channel youtube tersebut bagi saya, merupakan salah satu rekomendasi untuk belajar dari banyak perspektif dan para tokoh yang ahli di bidang masing-masing. Karlina Supelli salah satunya. Perempuan senior dan cukup lihai menjelaskan tentang pendidikan dari beragam perspektif, membuat saya memiliki pandangan baru terkait pemahaman tentang pendidikan dan kehidupan.

Karlina adalah nama baru bagi saya, yang membuat semakin penasaran dengan mencari berbagai literatur dan jejak digital terkait dengan dirinya. Karlina Supelli memiliki nama lengkap Karlina Rohima Supelli. Ia dikenal sebagai seorang filsuf dan salah satu astronomer perempuan pertama di Indonesia. Kepiawaiannya dalam bidang fisika, matematika dan metafisika serta isu-isu kemanusiaan, menjadikan dirinya sebagai role model bagi perempuan masa kini.

Namun, sebenarnya bukan itu yang ingin saya bahas. Akan tetapi, bagaimana Karlina dalam melihat isu-isu kemanusiaan, khususnya tentang fanatisme yang ternyata masih mengakar dalam diri masyarakat. Karlina Supelli ternyata adalah perempuan yang cukup terkenal dalam bidang keilmuan. Saya juga menemuinya dalam buku yang ditulis berjudul “Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme”.

Buku ini diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2011 silam yang berkolaborasi dengan penulis-penulis lain seperti: Mark Woodward, Premana W. Permadi, dll. Dalam tulisannya, Karlina memiliki kegelisahan yang cukup besar dalam gejala fanatisme dan ekstremisme. Kedua masalah ini baginya merupakan penghalang kemungkinan membentuk masyarakat yang pluralis. Perhatian yang cukup besar ini bisa dilihat dari perspektif kosmologi yang begitu kompleks.

Perbedaan menafsirkan hubungan antara Tuhan, alan dan manusia menyerat kita tunduk pada paksaan dogmatic menyangkut bagaimana manusia harus bersikap, harus percaya, terutama harus merasa gentar. Di bawah ancaman terorisme dan kekerasan, kita tidak punya kemewahan seperti Mach, yang demi menolak penafsiran Planck, rela mengatakan bahwa ia akan meninggalkan fisika dan menyerahkan kembali semua pengakuan ilmiah yang pernah ia terima. Hidup di dunia memang bukan seperti dalam laboratorium fisika dan amat jauh dari sunyi kosmos yang beku.” (hlm. 75)

Lebih jauh dari kalimat di atas, ia mencoba untuk menelaah dari perspektif keilmuan eksakta yang begitu rumit, dengan pola pikir mendalam bahwa gejala fanatisme ini muncul dari banyaknya penafsiran yang dimiliki oleh manusia. penafsiran ini dimulai dari perubahan zaman yang pada mulanya, zaman dimulai dari zaman iman, zaman nalar dan zaman penafsiran.

Pada zaman penafsiran inilah, pengetahuan tentang agama atau yang berkaitan dengan keagamaan, seseorang akan menafsirkan sesuai dengan kemampuan, pengetahuan yang dimiliki. Akan tetapi, ini adalah sebuah masalah apabila memaksa orang lain untuk mengamini. Bahkan, untuk mengimani perspektif seseorang dan menihilkan pemahaman keagamaan seseorang. Disinilah Karlina menjawab dengan kalimat berikut:

Begitu manusia mendaku tahu tentang Tuhan, dia menjadi Ontologi (Sang Ada) yang dipertaruhkan melalui pelbagai epistemologi (laku mengetahui). Padahal epistemologi mengandaikan pengakuan akan ciri antropologis laku mengetahui.” (hlm.77).

Tulisan tahun 2011 silam oleh Karlina, masih sangat relevan dengan hari ini di tengah banyaknya fanatisme terhadap agama. Fenomena fanatisme yang mengarah pada ekstremisme, terus mengakar karena pemaksaan diri agar orang lain menerima dan mengikuti pemahaman keagamaan yang dimiliki. Karlina sangat menolak dogma yang disampaikan dengan ketakutan dan penghakiman kepada manusia.

Menurutnya, relasi kemanusiaan harus dijalankan dengan penuh empati agar sama dan saling merasakan kesedihan, bahagia, satu sama lain. Keberadaan fanatisme yang menciptakan ekstremisme. Bahkan, akan menciptakan pandangan negatif terhadap sebuah agama itu sendiri. Sehingga agama dipandang sebagai dasar dari semua masalah. Dalam video bersama Gita Wirjawan, Karlina menyampaikan hal berikut:

Disiplin ketat itu penting, tahu kapan belajar, bekerja dan bermain-main, sosial media, dan itu perlu dari kecil sehingga dia baru bisa mengolah. Orang yang berpendidikan bisa mengolah betul pertarungan antara hasrat dengan kemampuan dia berpikir untuk “tidak saya harus bisa mengolah ini”. Kecerdasan emosi perlu dilatih. Emosi ini yang sering dilupakan kemudian diisi dengan agama dan dibatas dengan ajaran agama. Munculnya dogma-dogma dan ini yang bahaya.

Sudah saatnya agama tidak dijadikan kambing hitam dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang menghilangkan rasa empati sebagai manusia. Wallahu a’lam.

TERBARU

Konten Terkait