Rachid Khamis Abdellah hanyalah seorang remaja tanggung yang senang berkumpul dengan kawan sebayanya.
Rachid berada di Sudan. Seperti siang itu, ia sedang asyik bercengkrama dan tak menyangka. Hari itu, dirinya tidak menyangka kegembiraannya terenggut paksa oleh sekumpulan teroris yang mendadak masuk rumahnya dan mengusirnya. Rachid betul-betul terkejut.
Tak pernah menyangka bahwa ia harus mendapati kejadian buruk, ia lantas tak membawa apapun ketika kabur puluhan kilometer dari rumahnya. Yang ia tahu, ia harus menyelamatkan diri. Ia harus hidup aman. Terlebih, sekelompok individu tersebut membawa senjata dan berulang kali menggertaknya. Ia sempat mendengar bahwa mereka mengancam membunuh Rachid, tapi ia tak sepenuhnya mengerti mengapa.
Sebab pada detik berikutnya, ia telah lari tunggang langgang. Meski sempat dipenjarakan oleh kawanan teroris yang dengan sigap menangkapnya, di penjara Rachid berjumpa seorang imam yang menggertak para teroris tersebut. Imam tadi melarang mereka untuk membunuh Rachid. Rachid akhirnya keluar dari penjara dan kemudian mengungsi jauh dari kampung tempat tinggalnya.
Nasib malang tak hanya dialami oleh Rashid, Khalloun Adam, seorang wanita tua, yang kini berdiam di tenda pengungsian hanya bisa menahan perih ketika desanya luluh lantak. Rumah-rumah sederhana yang ia tempati berpuluh-puluh tahun dibakar, sejumlah warga pun diculik untuk kemudian dijadikan tentara tambahan. Khalloun tak habis pikir. Sebagai warga biasa, ia hanya berharap bahwa negerinya bisa kembali damai.
Ia ingin berjumpa anak laki-lakinya yang hingga kini hilang entah kemana. Tapi, yang ada di hadapannya sekarang hanyalah ratusan orang yang merintih kelaparan dan menderita. Bagaimana tidak, jumlah bantuan yang mereka terima sangatlah terbatas. Jika ingin mendapatkan pangan dari hasil bercocok tanam, ladang mereka telah hancur berantakan. Tak pelak, para pengungsi hanya bisa makan seadanya. Mereka tak hanya terancam penyakit fisik, tapi juga gangguan jiwa.
Akar Konflik di Sudan
Meledaknya konflik Sudan setahun terakhir berasal dari permasalahan yang kompleks. Bahkan, bila dibiarkan begitu saja, diperkirakan perang sipil bisa saja berkecamuk tanpa tahu kapan perdamaian akan datang. Bibit perang sendiri memang sudah mendarah daging ketika Sudan mencapai kemerdekaan dari Mesir dan Inggris Raya di tahun 1956. Pada waktu itu, konflik sudah muncul karena antara pihak Utara dan Selatan Sudan saling berebut kuasa: siapa yang lebih berhak untuk mengelola kekayaan sumber daya alam Sudan yang luar biasa?
Kekisruhan tersebut mulai mereda ketika seorang petinggi militer Omar Al Bashir menggulingkan pemerintahan berkuasa. Dengan tangan besi, ia menghapus partai politik dan memerintahkan hukum Islam secara absolut. Untuk mempertahankan kuasanya, ia juga membentuk dua pasukan militer. Pertama, ia namakan Janjaweed yang dipimpin oleh Hemedti. Yang kedua, merupakan pasukan militer nasional Sudan pimpinan Al-Burhan.
Setiap ada bibit pemberontakan, Omar akan dengan sigap meminta Janjaweed untuk memberangus gerakan tersebut. Termasuk jika ada demo atau protes yang berpotensi mengguncang posisi pucuk pimpinannya. Mereka tak segan menggunakan tameng agama untuk melegalisasi pembunuhan warga sipil. Tak heran, dalam beberapa waktu, Janjaweed mendapatkan hati Omar karena mereka dengan sigap melaksanakan perintahnya.
Sebagai imbalannya, Hemedti, pimpinan Janjaweed diberikan mandat untuk bekerjasama dan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) milik Sudan. Komisi yang ia dapat pun tak main-main, kekayaan yang melimpah tersebut memang membuat Jenderal militer tersebut hidup sejahtera. Namun, sayangnya hal serupa tidak terjadi pada rakyat Sudan sendiri.
Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun menderita dan terakhir, diguncang pandemi yang mengakibatkan inflasi semakin parah, banyak warga akhirnya turun ke jalan. Mereka meminta Omar tak lagi menjadi pemimpin negeri Sudan. Rakyat Sudan merasa bahwa hukum Islam yang diterapkan di Sudan hanyalah kedok bagi penguasa untuk mengeruk SDA Sudan tanpa pernah menjalankan amanah dalam kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai Islam sesungguhnya.
Momentum itu memang akhirnya mendorong Omar Al-Bashir dipenjara. Namun, kedua pimpinan militer, Hemedti dan Al-Burhan justru tidak mengubah keadaan. Ketika berjanji kepada publik untuk menegakkan hukum Islam sebenar-benarnya, mereka tak betul-betul menjiwainya. Tak lama berselang setelah kejatuhan Al-Bashir, Hemedti dan Al-Burhan kemudian malah berebut kuasa. Mereka menilai, mereka lah yang lebih berhak menjadi pucuk pimpinan dibandingkan seterunya.
Dengan konflik kedua pimpinan militer tersebut, lagi-lagi Sudan harus berkawan erat dengan perang berdarah. Janji menegakkan syariat Islam yang digaungkan oleh para pucuk pimpinan hanyalah topeng kerakusan yang kini memakan banyak korban jiwa dan menghempaskan Sudan ke jurang kemiskinan yang semakin dalam.