Karlina Supelli dalam video youtube di akun Gita Wirjawan menjelaskan cukup detail tentang pemaknaan pendidikan yang sangat kompleks. Sebagai penonton, saya memahami tentang bagaimana membangun empati kepada anak yang dilakukan dalam proses belajar. Hal ini bisa dipraktikkan dengan bagaimana cerita tentang perang, kemudian menanyakan kepada anak, bagaimana perasaannya ketika ia berada dalam situasi tersebut? Mengapa pertanyaan ini sangat penting untuk diajukan? Bagaimana membangun damai sesungguhnya?
Menurut Karlina, anak akan mencoba melihat bagaimana kesedihan, kesengsaraan dan perjuangan yang ada dalam sebuah sejarah. Disinilah empatinya akan terus terbangun dan nantinya ia mampu melihat fenomena dan fakta dari sisi kemanusiaan. Penjelasan tersebut saya rasa sejalan dengan upaya meningkatkan empati melalui kegiatan mendengarkan kisah-kisah diskriminasi yang dialami oleh orang lain.
Mendengarkan kisah diskriminasi yang dialami oleh orang lain, akan mengajarkan kita bahwa masih banyak ketidakadilan, potret kelam yang dialami oleh orang lain. Ini juga menjadi pijakan kita untuk melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang tidak ramah terhadap minoritas serta perlakukan masyarakat yang masih diskriminatif terhadap orang yang memiliki perbedaan agama. Kisah-kisah diskriminatif ini bisa kita dengarkan melalui WGWC Talk dengan tajuk “Suara Orang Muda dalam Mendorong Perdamaian Melalui Keberagaman: Berbagi Pengalaman Melalui Youth Camp Muda Toleran”.
Ada beberapa anak muda yang terlibat dalam kegiatan ini, di antaranya: M. Kinzie Almeer Oey, Founder Muara Indonesia (Alumni Youth Camp 2022), Qanita Qamarunisa, Staff Media Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Alumni Youth Camp 2022), Wilsen Yungnata, Persekutuan Pemuda Pemudi Methodist Indonesia (P3MI) – (Alumni Youth Camp 2022), Ryan Richard, (Alumni Youth Camp 2022), Nurul Annisa Ladjadji, Puan Menulis (Alumni Youth Camp 2022). Lima anak muda dengan latar belakang cukup beragam dan berbeda dibandingkan dengan kita, memiliki pengalaman yang sangat penting untuk kita dengarkan, di antaranya:
Pertama, Wilsen Yungnata. Ia adalah anak muda yang berasal dari minoritas Tionghoa. Seperti yang kita ketahui bahwa, Aceh dalam wilayah yang sangat kental sekali dengan Islam, apalagi ia disebut sebagai serambi Mekkah. Keberadaan Wilsen sebagai masyarakat minoritas, Kristen, Tionghoa pula, kerapkali mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari masyarakat ataupun teman-temannya. Atas dasar pengalaman tersebut, ia kemudian memilih untuk fokus terhadap isu-isu toleransi.
Kedua, Ryan Richard berasal dari Nusa Tenggara Timur yang beridentitas Kristen. Praktik-praktik kekerasan yang selama ini tidak disadari padahal membahayakan, adalah salah satu pengalaman pahit yang tidak terlupakan. Dalam pengalaman hidupnya pula, ia sering belajar dan gerakan Mama Alena Fund yang berbicara soal tambang Timur Tengah Selatan. Bahkan, wacana untuk memisahkan dari Indonesia semakin menguat dengan berbagai ketidakadilan yang dialami oleh masyarakatnya di sekitar. Atas dasar itu, Ryan fokus terhadap isu-isu kemanusiaan.
Ketiga, Nurul Annisa Ladjadji tinggal di Sulawesi tengah. Ia seorang perempuan yang lahir dan besar di Poso. Konflik kemanusiaan di Poso yang kemudian dikenal dengan teroris dan biangnya teroris kerapkali mendapatkan diskriminasi dari masyarakat luar. Dari pengalamannya itu, ia sebenarnya enggan untuk mengikuti kegiatan di luar daerahnya. Namun, keadaan itu disadari dengan bijak oleh Nurul dengan memberikan ruang bagi dirinya untuk aktif di berbagai kegiatan keberagaman sebagai pijakan untuk menjadi agen perdamaian bagi masyarakat sekitarnya.
Keempat, Qanita Qamarunisa berasal dari keluarga Ahmadiyah. Selama ini, keluarga Ahmadiyah banyak mengalami praktik diskriminasi dan tindakan yang tidak nyaman dari masyarakat. pengalaman pribadinya disebut sebagai kafir, sesat, membuat dirinya terus berefleksi. Atas dasar pengalaman yang tidak baik itu, ia memilih untuk menyembunyikan identitas dirinya dari publik. Namun, seiring berjalannya waktu, ada ruang untuk berinteraksi dengan kelompok lain sehingga ia bisa bercerita dan berbagi pengalaman yang tidak enak itu.
Kelima, Kinzie Almeer Oey. Pengalaman Kinzie barangkali begitu berbeda dengan yang lain. Sebab ia adalah seorang mualaf sejak tahun 2016 silam. pencarian jati diri dan identitas diri yang selama ini dturunkan oleh orang tuanya, membuatnya terus melakukan refleksi. Pilihan menjadi mualaf pada mulanya ditentang oleh keluarganya, bahkan mendapatkan stigma dan dijauhi oleh teman-temannya. Akan tetapi, Kinzie keukeuh dengan pilihannya tersebut untuk mendalami ajaran Islam. lambat laun, proses tersebut berjalan sampai hari ini.
Berbagai cerita diskriminasi ini barangkali menjadi sebuah referensi bagi kita bahwa, praktik diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas masih sangat sering terjadi. Maka dari itu, memupuk ruang aman bagi sesama sangat penting untuk terus kita upayakan untuk senantiasa meningkatkan empati dalam diri kita. Wallahu a’lam.