Kisah Pendamping Napiter
Adalah Silvia Rahmah, M.Ag, seorang Daiyah Fatayat NU Kota Tasikmalaya sekaligus seorang Pendamping Napiter. Keterlibatannya dalam kegiatan pendampingan bermula pada tahun 2020 yaitu saat komunitas RUDALKU (Rumah Daulat Buku) mengadakan program pendampingan menggunakan pendekatan literasi. Atas keprihatinannya melihat situasi keluarga eks-napiter yang dianggap sebagai korban dan dituduh sebagai teroris, menjadikan hati Silvia tergerak untuk terjun dalam program ini.
Meski keputusan untuk terlibat kegiatan pendampingan bukanlah hal yang mudah, namun motivasi dan keyakinan yang kuat dilakukan oleh Silvia untuk bisa memanusiakan manusia. Beragam tantangan dan ancaman tentunya Silvia jumpai. Adapun mitigasi yang bisa Silvia lakukan yaitu dengan merahasiakan alamat rumah tinggal, namun selebihnya ia pasrahkan kepada Allah yang Maha Pelindung. Lain lagi kisah Suci Winarsih, A. Md, IP, S.H seorang pengawal di Lapas Perempuan Bandung ini juga memiliki tugas tambahan sebagai wali narapidana sejak tahun 2018 silam.
Selama tugas pendampingan ini, Suci telah mendampingi empat napiter perempuan. Dan diantaranya dua orang telah bebas, satu bebas murni dan satu bebas bersyarat. Selama menangani napiter perempuan, Suci menggunakan pendekatan psikologi yaitu dengan mengetahui latar belakang atau awal mula para napiter perempuan masuk ke sebuah jaringan. Ia juga lebih menekankan untuk mengambil hati napiter dan memperlakukannya sebagai sesama manusia.
Pendekatan dalam Pendampingan Napiter
Di Indonesia, upaya penaggulangan terorisme diamanahkan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilakukan dengan program deradikalisasi. Deradikalisasi ini meliputi identifikasi, rehabilitasi, redukasi, dan resosialisasi baik di dalam lapas maupun di luar lapas, melalui sinergi dan koordinasi dengan pemangku kebijakan. Adapun pola yang dilakukan dalam penanggulangannya yaitu, melalui pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach).
Meski segala upaya deradikalisasi telah diupayakan oleh berbagai pihak. Namun, menurut Ade Bhakti titik lemah di mana deradikalisasi ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, karena sifatnya voluntary. Maknanya sangat sukarela, ditawarkan, mau ikut atau tidak. Sehingga dalam mensiasati sifat voluntary, baik pihak aparat keamanan, BNPT, Densus, LAPAS dapat terus berkoordinasi dan berkolaborasi. Aapabila terdapat napiter yang sulit menerima adanya deradikalisasi, untuk selanjutnya bisa ditindaklanjuti oleh BNPT dan Densus dengan pengawasan tetap.
Adapun keterlibatan perempuan dengan menjadi pendamping napiter perempuan adalah salah satu upaya dalam deradikalisasi. Melihat adanya pergeseran peran perempuan dalam aksi terorisme maka pendampingan perempuan menjadi penting adanya. Melihat aspek kebutuhan dari napiter yang harus diperhatikan, memahami bahwa kebutuhan napiter berbeda-beda, maka pendekatan yang dilakukan juga berbeda.
Pendampingan melalui Pendekatan Literasi
Pendampingan melalui pendekatan literasi ini dilakukan di lingkungan civil society yang salah satunya digiatkan oleh sekelompok peneliti yang lama bergelut dalam penelitian radikalisme dan terorisme. Atas inisiasi mereka, dibuatlah program yang bernama Rumah Daulat Buku (RUDALKU). Selain melalui pendekatan literasi (literacy approach) program ini juga mengusung tagline “Banyak Baca jadi Terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran”.
Kegiatan yang dilakukan RUDALKU yaitu dengan berkunjung atau silaturahmi sembari membawa buku-buku kepada eks napiter di rumahnya masing-masing. Di rumah tersebut kemudian dibangun perpustakaan mini. Selain itu, penting juga mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta berkunjung. Dengan adanya pendekatan literasi, diyakini dapat membawa pada keterbukaan wawasan. Sehingga, menjadi kritis dan tidak mudah terbawa arus yang menyimpang.
Sebagaimana yang disampaikan Widova Radka, bahwa prinsip utama dari pendekatan literasi adalah untuk membaca dan menulis. Dalam konteks ini eks napiter merujuk pada praksis yang kemudian terciptalah kemampuan yang akan terus diasah dan diteguhkan. Model literasi yang dibangun juga lebih memberi makna mendalam dan holistik, menyentuh sisi-sisi kesadaran individual dan kolektif. Dengan melibatkan perempuan dalam deradikalisasi merupakan sebuah strategi.
Pelibatan perempuan dalam proses ini dinilai lebih persuasif, lebih lembut dan penyayang sehingga dapat melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif. Peningkatan peran perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme juga merupakan salah satu alasan BNPT melibatkan perempuan sebagai aktor dalam deradikalisasi, dalam hal ini salah contoh kisah pendamping napiter perempuan sebagaimana yang sudah dikisahkan adalah Silvia dan Suci. Meski keterlibatan mereka di ruang yang berbeda, namun apa yang telah dilakukan Silvia dan Suci adalah upaya yang harus terus digiatkan bersama-sama oleh berbagai pihak.