Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia mengalami fenomena liberalisasi politik. Begitu juga dengan kebebasan berpendapat dalam ruang lingkup yang sangat luas. Bagaikan anak ayam yang dilepas induknya setelah bertahun-tahun, masyarakat memaknai era reformasi sebagai momentum tepat untuk menyampaikan argumen. Selama 32 tahun diatur secara ketat oleh pemerintah.
Pada saat yang sama, hal ini memberikan ruang yang lebih luas bagi kelompok-kelompok radikal berbasis agama untuk menyebarkan ideologi. Bahkan, penyebaran ideologi tersebut tanpa banyak hambatan. Terlebih pada zaman Presiden Soeharto, segala sesuatu yang tidak sesuai pakem negara, akan segera diberangus. Meski begitu, ideologi radikalisme masih menjadi hal yang asing, terutama bagi pemerintah.
Sebab, pemerintah meyakini bahwa ekstremisme di Indonesia telah habis ketika mereka memberantas pemberontakan di Sumatera Barat. Tuduhan yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai sarang teroris, yang semula dibantah termasuk oleh Hamzah Haz yang pada waktu itu menjadi wakil presiden. Tiba-tiba sunyi ketika ratusan korban Bom Bali 12 Oktober 2002 bergelimpangan akibat aksi teror kelompok Imam Samudera dan kawan-kawan.
Peristiwa yang meluluhlantakkan denyut pariwisata Pulau Dewata itu, kemudian menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Jika radikalisme agama ternyata telah merajalela di Indonesia. Bahkan para pelaku teror tidak hanya menargetkan Bali saja. Namun, sejumlah wilayah lain di Indonesia menjadi sasaran aksi mereka.
Menggali Akar Kesalahpahaman
Kesalahpahaman pemerintah dalam merespon bibit radikalisme agama di Indonesia pada masa reformasi. Menurut Abdul Mukti Rouf (2007) dikarenakan oleh anggapan bahwa radikalisme politik keagamaan merupakan cerminan gerakan sejenis di masa lampau saat Belanda masih menjajah di Indonesia. Gerakan Darul Islam (1949-1962) misalnya, menolak tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang dipaksakan pemerintah penjajah. Itulah yang melahirkan Perang Aceh (1873-1942), Perang Paderi (1830-1837), dan Perang Diponegoro (1825-1830).
Gerakan-gerakan politik–keagamaan radikal pada waktu memiliki konteks dan semangatnya sendiri. Hal yang sulit dipersamakan dengan kelompok Imam Samudera dan kawan-kawannya. Jauh ke belakang, di zaman kolonial Belanda, Radikalisme mereka dianggap positif karena memperjuangkan hak-hak asasi rakyat pribumi yang tertindas oleh kaum penjajah.
Usai era otoritarian di Indonesia, gerakan sejenis tidak lagi ditemukan. Ideologi dan tujuan yang dianut sudah sangat berbeda. Radikalisme pasca Orde Baru kini memiliki konotasi negatif sebab mereka menolak sistem pemerintahan resmi Indonesia, dan menganggap bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945 bukanlah pedoman kenegaraan yang tepat untuk diimplementasikan.
Faktor Pemicu Tumbuhnya Radikalisme
Selain kurang tanggapnya pemerintah dalam merespon perkembangan gerakan ekstremisme di Indonesia. Faktor lain yang menyebabkan radikalisme tumbuh subur adalah ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial, yang dipicu oleh krisis moneter terutama dalam hal pendapatan, akses ke pendidikan, dan kesempatan ekonomi, akhirnya menciptakan ketidakpuasan dan ketidakstabilan pada seluruh lapisan masyarakat.
Peluang ini lalu dimanfaatkan secara masif oleh kelompok teroris untuk mengkampanyekan agenda mereka dan menarik simpatisan. Propaganda ideologi radikalisme bahkan terbantu oleh inovasi teknologi yang melahirkan sejumlah platform media sosial, seperti Telegram, Facebook, dan lain-lain. Grup-grup radikal menggunakan media ini untuk menyebarkan propaganda, merekrut anggota, dan menyebarkan pemikiran yang ekstrem.
Selain berhasil memanfaatkan ketergantungan orang awam dengan melancarkan narasi ekstremis melalui media sosial, perubahan sosial dan modernisasi ditengarai menjadi aspek lain yang membuat individu tertarik untuk mendukung gerakan ekstremisme. Target dari gerakan radikalisme ini adalah beberapa individu yang sedang mencari kestabilan dalam hidup dan mengalami pergolakan identitas dalam agama.
Kebingungan serta kegalauan mereka, dimanfaatkan secara licik oleh kelompok-kelompok radikal dengan menawarkan narasi yang sederhana dan menarik untuk mengatasi krisis ini. Poin terakhir yang semakin menguatkan perkembangan radikalisme ialah dampak globalisasi. Globalisasi membawa konteks yang lebih luas dengan ideologi dan pemikiran dari berbagai negara. Penderitaan umat di Timur Tengah diadu dengan kehidupan liberal di dunia Barat.
Di samping itu, perbedaan kepercayaan dan budaya juga dieksploitasi oleh ekstremis untuk meyakinkan orang awam agar mereka akhirnya mau mengadaptasi ideologi mereka di Indonesia.Fenomena radikalisme agama di Indonesia sebagai hasil dari berbagai faktor di atas menegaskan perlunya respons yang komprehensif dan berkelanjutan. Penting bagi negara-negara dan masyarakat internasional untuk bekerja sama dalam mengatasi sumber-sumber radikalisme yang berasal dari luar dan memperkuat kerja sama dalam memerangi ekstremisme ideologis.
Di tingkat domestik, pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan upaya dalam hal pendidikan, pemahaman antaragama, dan pemberdayaan masyarakat untuk menghadapi tantangan radikalisme agama.
Selain itu, pemantauan dan penegakan hukum yang ketat terhadap kegiatan radikal. Serta promosi nilai-nilai moderat dan toleransi harus terus diupayakan agar Indonesia tetap menjadi negara yang berlandaskan kebhinekaan dan damai. Hanya melalui kerja sama yang erat dan upaya bersama, kita dapat melawan radikalisme agama dan mewujudkan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.