Nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sempat begitu tenar sebagai sebuah organisasi yang mengatasnamakan dirinya sebagai Partai Politik, beberapa belasan tahun belakang. Meski keberadaanya sudah ada sejak Orda baru. Namun, pada era reformasi yang menjunjung kembali ruang bagi masyarakat sipil untuk mendirikan partai politik atau ormas yang berbasis agama. Hal ini ditengarai sebagai momentum emas para pengikut Hizbut Tahrir untuk menunjukkan eksistensinya.
Awal Mula Perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia
Pada tahun 1953, Taqiyuddin al Nabhani di Quds mendirikan lembaga politik berskala internasional yang bernama Hizbut Tahrir. Organisasi politik ini dibentuk dengan tujuan membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari pengaruh dunia Barat. Dengan begitu yang paling utama, adanya organisasi politik Hizbut Tahrir adalah sebagai bentuk upaya untuk membangun kembali Daulah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintah dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Adapun Hizbut Tahrir mulai masuk ke Indonesia sekitar pada tahun 1982-1983 oleh M Mustofa dan Abdurrahman al-Baghdadi. Keterlibatan Mustofa bermula ketika ia belajar di Yordania dan bertemu langsung dengan para aktivis Hizbut Tahrir. Sedangkan Abdurrahman Al-Baghdadi sudah aktif di gerakan Hizbut Tahrir sejak usianya 15 Tahun. Baru ketika usia 25 tahun Al-Baghdadi pindah ke Indonesia dan turut mengembangkan pesantren Al-Ghazali di Bogor.
Strategi Dakwah
Dalam bidang pendidikan, kampus-kampus menjadi sasaran empuk untuk mendeklarasikan ideologi HTI. Mula-mula ideologi HTI ini diperkenalkan melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK), salah satunya bermula di Kampus IPB, Bogor. Melalui dakwah kampus, pemikiran HT tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Yaitu dengan diadakannya pengajian umum, halaqah-halaqah, hingga diskusi publik, yang menjadikan semakin menarik para mahasiswa yang haus akan ide-ide baru mengenai sebuah gerakan revitalitas Islam.
Selain itu, aktivis HTI juga memanfaatkan fasilitas demokrasi dan kebebasan berekspresi untuk mensosialisasikan wacana sistem khilafah di ruang publik dengan berlindung dibalik kegiatan dakwah. Buletin sebagai salah satu media komunikasi, dan penyebaran informasi, memiliki peranan penting untuk memproduksi makna dan simbol dalam kehidupan sehari-hari bahkan media yang alternatif dalam menyebarkan ideologi tertentu.
Pembubaran HTI
HTI resmi dibubarkan pada saat pemerintahan Jokowi, melalui Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan UU nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Meski pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan HTI secara organisasi, namun pemerintah tidak dapat menghapus ideologi HT dalam diri eks anggotanya. Berdasarkan kebebasan menjalankan ajaran agama yang dijamin oleh undang-Undang, mereka dipastikan dapat membentuk organisasi/lembaga baru untuk melakukan dakwah di masyarakat.
Setelah pembubaran, lalu bagaimana strategi dakwah yang dilakukan eks HTI? Sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh HTI itu sendiri yaitu Rokhmat S Labib, bahwasanya kegiatan dakwah mereka di Indonesia akan terus berjalan. Walaupun tidak melalui wadah HTI yang telah dibubarkan pemerintah. Bagi mereka, kegiatan dakwah adalah kewajiban setiap muslim yang tidak dapat dilarang oleh pemerintah.
Ada dua kemungkinan juga yang akan dilakukan oleh eks HTI. Pertama, eks HTI akan melakukan pembentukan ormas baru. Kedua, eks HTI akan bermetamorfora menjadi partai baru atau beralih haluan dengan berpindah dan bergabung kepada partai berbasis Islam yang sudah ada. Kondisi ini akan terjadi jika mereka gagal memperjuangkan dan mempertahankan ideologinya dalam bentuk ormas, begitulah kiranya hasil kajian Qohar dan Hakiki.
Propaganda Eks HTI di media sosial
Hingga saat ini, penulis meyakini bahwa eks HTI masih terus berupaya dengan melakukan gerakan bawah tanah, salah satunya melalui propaganda di media sosial. Tak dapat dipungkiri, framing media yang mereka bangun mungkin tidak secara frontal dengan ‘mengganti sistem’ tapi menggiring opini berkedok agama. Media sosial disinyalir menjadi fokus utama penyebaran ideologi mereka demi menjangkau sasaran yang lebih luas.
Isu-isu yang menjadi fokus HTI sering menguasai perbincangan publik di beberapa platform media sosial. Media sosial dan internet adalah instrument ampuh untuk tetap melaksanakan kampanye dan alat untuk memobilisasi opini publik. Dengan membincang kembali perihal Hizbut Tahrir bermula dari historis sampai pembubarannya di negara Indonesia.
Hal ini membuat kita harus terus waspada dan siap siaga dengan segala kemungkinan gerakan propaganda para eks HTI di dunia maya. Segala upaya pemerintah, elemen masyarakat dan ormas Islam harus saling bahu membahu memberikan narasi tandingan melalui media yang sama, yakni media sosial. Agar gerakan radikalisme di Indonesia dapat dicegah sedini mungkin.