Cerita tentang kisah perempuan istri napiter selalu menarik perhatian kita untuk belajar lebih jauh dan memberikan empati kepada kehidupan yang dijalani. Salah satu kisah perjalanan hidupnya adalah Ratna Sari Nasution, seorang istri napiter yang menjalani kehidupannya dengan penuh struggling. Pengalaman hidupnya yang berasal dari lingkungan NU, kemudian besar dengan menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) di lingkungan Muhammadiyah.
Kondisi tersebut merupakan awal perjalanan bertemu dengan sang suami, Zen Effendi. Pernikahan yang dilangsungkan berawal dari ta’aruf seperti pada umumnya, bertukar CV lalu cocok dan menikahlah mereka. Kehidupan rumah tangganya-pun dijalani dengan begitu lancar hingga sampai pada akhirnya, ia diberi kabar bahwa suaminya ditangkap oleh Densus 88 karena terlibat dalam pengeboman di Aceh.

Selama menjalani kehidupan rumah tangga, ia kadang diajak oleh sang suami untuk ikut pengajian satu circle dengan para jihadis. Dengan ciri khas sebagaimana seorang istri di keluarga jihadis. Tidak memiliki ruang untuk berpendapat dan menolak lantaran posisi suami sebagai pemimpin rumah tangga. Kondisi tersebut malah membuat Ratna menjalaninya dengan begitu nyaman.
Perpisahan dengan suaminya karena harus dipenjara selama 10 tahun merupakan babak baru dalam hidup. Ia harus membesarkan anaknya sebagai orang tua tunggal. Di sisi lain, pengucilan dari tetangga dan tempat kerjanya terus mengintai. Namanya mendadak famous karena terlibat dalam kelompok teroris. Bahkan meskipun suaminya sudah keluar dari penjara, anak keduanya sudah menginjak remaja, masyarakat masih tetap menghukumi sang anak dengan menyebut bapaknya pernah dipenjara, terlibat dalam kelompok teroris. Realitas itu yang membuat dirinya terpukul sampai hari ini.
Di satu sisi, kejadian itu memang benar, sang ayah pernah dipenjara karena menjadi teroris. Namun di sisi lain, penghukuman dengan bentuk bully kepada sang anak, tidak seharusnya terjadi. Sebab bagaimanapun, anak adalah korban dari kesalahan orang tua. Tidak heran, dua anaknya yang sudah menginjak remaja selalu merasa tidak nyaman ketika ditanya perasannya kepada sang ayah.
Tidak hanya itu, penghukuman dalam bentuk pengasingan juga ia rasakan dari circle pertemanan kelompok jihadis. Karena ideologinya lama kelamaan sudah bergeser dan berpindah, tidak lagi menentang Pancasila dan tidak memiliki keinginan untuk mengubah negara Indonesia, ia ditolak dan dianggap pengkhianat. Dalam pengakuannya, ia justru dikeluarkan dari grup Whatsapp karena sudah tidak lagi sejalan secara ideologi dan gerakan.
Penghukuman yang dialami oleh istri napiter menurut saya terjadi berlipat ganda. Di satu sisi ia mengalami penghukuman dari masyarakat, tetangga, warga sekitar karena sudah terlibat dalam kelompok teroris, meskipun sudah taubat dan berikrar kepada NKRI. Di sisi lain, ketika ia sudah mengakui Pancasila, ia mendapat kecaman, ancaman bahkan diasingkan oleh kelompok jihadis karena sudah berbeda ideologi dan gerakan.
Konsep Sami’wa wa Atho’na
Hal yang paling saya cengangkan adalah konsep rumah tangga yang dijalani, tidak masuk akal dengan penerapan sami’na wa atho’na. Menurutnya konsep tersebut diwujudkan dengan seorang istri yang tidak perlu tahu apa perilaku suami, mau kemana dan bersama siapa. Sebab para istri menyerahkan semua kepercayaan dan memberikan kebebasan bagi suami untuk melakukan apapun, termasuk tentang pergaulan yang berada dalam circle teroris.
Ratna mengakui bahwa, selama ini ia membangun keluarganya dengan memberikan kebebasan yang sangat besar bagi suaminya untuk bergaul, termasuk ikut pengajian dengan para ustaz yang selama ini merupakan circle dalam membangun pemahaman terhadap jihad untuk melakukan pengeboman. Bagi saya, konsep hubungan rumah tangga semacam ini, memperkuat relasi kuasa karena posisi istri sebagai makhluk kelas kedua yang tidak memiliki ruang untuk bertanya dan berdiskusi segala hal yang dilakukan oleh suami.
Mengapa ini penting? Menurut pengakuan Ratna, ketika sang suami didatangi oleh Densus 88, ia benar-benar tidak tahu menahu mengapa sang suami terlibat dalam kelompok teroris. Padahal, komunikasi yang terbuka satu sama lain sangat penting diterapkan dalam hubungan keluarga. Fakta semacam ini juga memperkuat persepsi bahwa ideologi khilafah dengan watak teroris, melanggengkan budaya patriarki dan mendiskreditkan posisi perempuan.
Argumen ini diperkuat dengan sikap Ratna yang tidak memiliki penjelasan apapun ketika suaminya ditangkap oleh Densus 88. Padahal, seharusnya sebagai seorang istri, ia bisa mengetahui circle pertemanan dan pemahaman yang dimiliki sang suami. Kondisi ini dianggap sebagai salah satu cara menyatukan visi dan misi dalam berumah tangga. Wallahu a’lam.