“At the same time, the oppressed people of Afghanistan will know the generosity of America and our allies. As we strike military targets, we’ll also drop food, medicine and supplies to the starving and suffering men and women and children of Afghanistan.”
Pada tanggal 7 Oktober 2001, Presiden George W. Bush pernah berdeklarasi jika perang di Afghanistan sesungguhnya adalah cara pemerintah Paman Sam membantu warga negeri Pahstun untuk keluar dari krisis. Mereka kerap menggambarkan bahwa warga Afghanistan adalah kelompok masyarakat paling tak berdaya, dan mereka harus segera dibantu. Salah satu cara yang paling efektif yaitu dengan angkat senjata melawan Taliban, kelompok militan Islam yang berbasis di Afghanistan dan Pakistan.
Namun, setelah 20 tahun berperang melawan terorisme, nyatanya Amerika Serikat tidak banyak membuat perubahan jangka panjang. Memang pemerintahan sementara yang berasal dukungan barat membantu perbaikan ekonomi warga di sana. Namun, sekembalinya Taliban berkuasa, hak-hak asasi warga, terutama perempuan justru tercerabut dan tak dapat dipertahankan.
Hal ini menandakan bahwa konsolidasi dua puluh tahun Amerika Serikat dan sekutunya hanya menghasilkan dampak positif sementara. Narasi perang melawan teror yang mereka gaungkan hanyalah topeng, dibalik kebijakan politik yang sejatinya tidak memiliki dampak berkesinambungan yang efektif dan efisien.
Program Kesetaraan Gender Amerika dan Budaya Afghanistan
Saat pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka akan menerjunkan pasukan militer ke Afghanistan. Sebagian publik Amerika Serikat mengecamnya dan melihat bahwa upaya tersebut hanyalah kebijakan yang akan menguras anggaran publik. Namun pemerintah Bush berdalih bahwa keputusan perang yang diambil bukanlah tanpa sebab.
Pertama, mereka melihat bahwa Afghanistan adalah negara yang berbahaya karena mereka terindikasi menyembunyikan aktor terorisme global. Tidak hanya itu berkali-kali perwakilan pemerintah Amerika meyakinkan publik bahwa sistem otoritarian yang dianut oleh negeri Asia Tengah tersebut perlu dilawan karena telah menggadaikan nilai-nilai hak asasi manusia yang membuat warga Afghanistan menderita.
Selanjutnya, mereka selalu menguraikan bahwa perempuan di Afghanistan tidak pernah merasakan kebebasan seumur hidupnya. Selain corak pemerintahan yang diktator, nilai-nilai budaya yang dianut sebagian besar warga juga dianggap mencederai hak-hak dasar mereka sebagai perempuan. Oleh karenanya, pembebasan Afghanistan perlu didukung penuh oleh publik Amerika.
Namun, sekarang pertanyaannya adalah: apakah kebijakan Amerika, terutama yang berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan perempuan selama bertahun-tahun di Afghanistan telah tercapai? Apakah mereka mempertimbangkan budaya dan nilai-nilai lokal dalam programnya? Atau kebijakan mereka bersifat elitis? Hanya berdasarkan kacamata Barat tanpa melihat nilai-nilai agama dan budaya dalam menjalankan misinya?
Sejumlah peneliti dari kampus Inggris, Naila Kabeer dkk menguraikan bahwa narasi kesetaraan gender yang diusung oleh Amerika Serikat dan Afghanistan memiliki fondasi serta pijakan yang jauh berbeda. Bagi Amerika, prinsip kesetaraan mereka berbasis pada kebebasan seluas-luasnya yang bisa diperoleh seorang individu. Sedangkan di Afghanistan, aktualisasi diri seseorang bukan hanya sebatas apa yang melekat pada diri dan kebutuhan personalnya.
Akan tetapi, kedua hal ini berkaitan erat dengan komunitas/lingkungan sosial, termasuk bagaimana interpretasi agama melekat. Lalu dimaknai oleh perempuan di negeri yang berlokasi di tengah benua Asia tersebut. Sayangnya, ketika Amerika dan sekutunya datang ke Afghanistan, mereka tidak mempertimbangkan nilai-nilai dasar tersebut ketika menjalankan program. Sehingga program yang dijalankan akhirnya lebih banyak jatuh di retorika semata.
Contoh spesifiknya yaitu penetapan standar pemberdayaan perempuan yang hanya berkutat pada pendapatan, edukasi, dan hak reproduksi. Di lapangan, sebagian besar perempuan dihadapkan pada terbatasnya lapangan kerja. Jangankan perempuan, laki-laki saja sulit mendapatkan pekerjaan karena banyak usaha yang bangkrut dan lumpuhnya ekonomi karena perang yang berkecamuk. Belum lagi persoalan perempuan yang sudah menikah, mereka lebih banyak fokus pada urusan domestik, termasuk perawatan anak.
Tidak hanya karena laki-lakinya menjadi penyangga utama ekonomi keluarga. Terkadang, mereka tak lagi memiliki suami atau anggota keluarga yang menopang. Sehingga mau tidak mau kondisi memaksa mereka untuk fokus merawat rumah tangga semata. Terakhir, hak reproduksi. Di Afghanistan, perang dan konflik berkepanjangan membuat banyak gedung rusak, bahkan hancur total, termasuk juga apotik, klinik dan rumah sakit.
Sehingga, ketika menargetkan agar perempuan lokal dapat menentukan sendiri hak tubuhnya, mereka lupa bahwa fasilitas pendukungnya amatlah minim. Tak heran, selama bertahun-tahun Amerika berdiam di Afghanistan, pekerjaan rumah peningkatan kesejahteraan perempuan belum selesai. Dan kini, ketika Taliban berkuasa kembali, perjalanan menuju kesetaraan nampaknya masih terlampau jauh.