Kita mengingat betul tragedi kelam yang terjadi di 2018. Kejadian tersebut menewaskan belasan orang. Sebuah tragedi pengeboman di tiga gereja sekaligus yaitu Gereja Katolik Santa Maria, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Bahkan, yang lebih menyedihkan dari tragedi Bom ini adalah pelaku merupakan satu keluarga. Ialah Dita Oepriarto, sang kepala keluarga yang mengakhiri aksinya dengan menabrakkan Toyota Avanza miliknya ke Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Setelah sebelumnya aksi tersebut sudah dilakukan oleh Yusuf dan Firman di Gereja Katolik Santa Maria, disusul Puji Kuswati beserta kedua putrinya yaitu Famela dan Fadhila Sari yang mengebom Gereja Kristen Indonesia.
Ancaman Radikalisme di Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai unit sosial terkecil memiliki peran sentral dalam mencegah ancaman radikalisme. Pasalnya, tumbuh suburnya virus radikalisme tergantung lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Doktrin dan ideologi ini dapat menyerang kesadaran masyarakat bila hal itu hidup di lahan yang subur, yaitu di mana masyarakat yang dicemari paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme agama. Selain itu, juga adanya pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong akan tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar yang arogan, dan imperialisme modern negara adidaya.
Dalam dunia pendidikan sekalipun, ancaman radikalisme harus terus diupayakan dalam pencegahannya. Pendidikan anak berawal dari rumah, maknanya orangtualah guru anak yang sesungguhnya. Sebelum menyekolahkan anak di sekolah formal, orang tua pasti akan membekalinya dengan kemampuan dasar yang dibutuhkan. Potensi inilah yang menimbulkan kekhawatiran apabila orang tua tidak memiliki dasar pendidikan karakter yang kuat bahkan sudah terkena paham radikalisme, maka dengan mudah akan mendoktrin anak-anaknya menjadi radikal juga.
Selain itu orang tua juga sangat berperan dalam memilihkan lembaga pendidikan yang bebas dari doktrin radikalisme dan intoleran. Jangan sampai orang tua tidak jeli justru menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan yang terindikasi menyebarkan paham radikal dan intoleran seperti tidak ada upacara bendera, tidak ada menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, atau bahkan tidak ada bendera merah putih yang berkibar.
Tidak berhenti sampai di situ, media sosial juga ditengarai memberi pengaruh yang besar dalam memberikan informasi akan bahaya praktik radikalisme dan intoleran. Perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang pesat menjadikan aliran informasi dan akses komunikasi berlangsung melampaui batas-batas negara dengan cepat. Hal ini menjadikan kelompok ektremis dan radikalis menunjukkan eksistensinya dalam penyebaran ideologinya via media berbasis teknologi informasi dan komunikasi, seperti jejaring media sosial dan tentunya mengancam anak-anak muda.
Penguatan Basis Keluarga
Menurut Jaringan Gusdurian Indonesia (2016) menyimpulkan bahwa bagi anak muda, orang tua adalah hal yang paling dipercaya dalam hal nilai-nilai. Ungkapan tersebut sejalan bahwa keluarga dan lingkungan sekitar menjadi tempat pertama anak belajar. Tak heran, bila ada istilah yang mengatakan perilaku anak adalah cerminan kepribadian orang tua. Anak akan meniru perilaku atau kebiasaan orang tua dan merekam semua perkataannya.
Dengan demikian, meski masyarakat menitikberatkan pendidikan dan pengasuhan anak pada perempuan. Namun pada dasarnya pendidikan keluarga adalah tugas kemitraan oleh ayah dan ibu dalam pembentukan karakter anak. Membangun keluarga dan mendidik anak diperlukan kualitas yang tinggi mengingat banyak sekali problem kehidupan masyarakat yang bisa merusak generasi muda. Baik ayah maupun ibu harus mengetahui dan memahami fungsi keluarga, mulai dari fungsi keagamaan, sosial budaya, pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Sehingga diharapkan tercipta kehidupan keluarga yang harmonis, dengan begitu pula paham radikalisme akan sulit masuk dalam mempengaruhi kehidupan keluarga.
Peran ibu sebagai Al-Umm Madrasatul Ula dapat dilakukan dengan pendekatan secara psikologi untuk memberikan pengertian dan pemahaman konsep Islam yang moderat. Serta mengimplementasikan praktik moderat dan toleran baik di lingkungan rumah bersama dengan anggota keluarga dan terhadap tetangga. Adapun tugas ayah melakukan diskusi-diskusi mengenai bahaya radikalisme. Dan hal-hal yang bisa dilakukan bersama baik ayah maupun ibu adalah memberikan contoh-contoh langsung bagaimana sikap moderat dan tasamuh dari beragamnya pemeluk agama lain.
Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, peran orang tua dalam penanaman nilai diyakini akan berpengaruh besar pada ketangguhan anak ditengah paparan nilai-nilai eksklusivisme dan esktremisme agama. Sehingga diharapkan melalui penguatan basis keluarga, benar-benar dapat menangkal paham radikalisme.